Keputusan Tata Usaha Negara (“KTUN”) Fiktif Negatif



Terselenggaranya pemerintahan yang baik sangat berpengaruh dari keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara. Dalam teori tata usaha Negara, keputusan tata usaha negara itu sendiri adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha Negara yang berisi tindakan hukum tata usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (“UUPTUN”) merumuskan bahwa “Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan Hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”

Istilah  "penetapan  tertulis"  terutama  menunjuk  kepada  isi  dan  bukan kepada  bentuk  keputusan  yang  dikeluarkan  oleh  Badan  atau  Pejabat Tata Usaha Negara. Keputusan itu memang diharuskan tertulis, namun yang  disyaratkan  tertulis  bukanlah  bentuk  formalnya  seperti  surat keputusan pengangkatan dan sebagainya. Persyaratan tertulis itu diharuskan untuk kemudahan segi pembuktian. Oleh karena itu sebuah memo atau nota dapat memenuhi syarat tertulis tersebut  dan  akan  merupakan  suatu  Keputusan  Badan  atau  Pejabat Tata Usaha Negara menurut Undang-undang ini apabila sudah jelas : a. Badan     atau     Pejabat     Tata     Usaha     Negara     mana     yang mengeluarkannya;  b. maksud serta mengenai hal apa isi tulisan itu; c. kepada  siapa  tulisan  itu  ditujukan  dan  apa  yang  ditetapkan  di dalamnya. 

Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat di pusat dan daerah yang melakukan kegiatan yang bersifat eksekutif. Tindakan  hukum  Tata  Usaha  Negara  adalah  perbuatan  hukum  Badan atau   Pejabat   Tata   Usaha   Negara   yang   bersumber   pada   suatu ketentuan  hukum  Tata  Usaha  Negara  yang  dapat  menimbulkan  hak atau kewajiban pada orang lain. Bersifat konkret, artinya objek yang diputuskan dalam Keputusan Tata Usaha  Negara  itu  tidak  abstrak,  tetapi  berwujud,  tertentu  atau  dapat ditentukan. Bersifat  individual  artinya  Keputusan  Tata  Usaha  Negara  itu  tidak ditujukan  untuk  umum,  tetapi  tertentu  baik  alamat  maupun  hal  yang dituju. Kalau yang dituju  itu lebih dari  seorang, tiap-tiap nama orang yang terkena keputusan itu disebutkan. Umpamanya, keputusan tentang perbuatan  atau  pelebaran  jalan  dengan  lampiran  yang  menyebutkan nama-nama orang yang terkena keputusan tersebut. Bersifat final artinya sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum. Keputusan yang masih memerlukan persetujuan instansi atasan  atau  instansi  lain  belum  bersifat  final  karenanya  belum  dapat menimbulkan suatu hak atau kewajiban pada pihak yang bersangkutan

Berdasarkan Pasal 1 angka 8 UUPTUN, yang dimaksud sebagai Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Perkembangan Pemerintahan yang begitu dinamis, seringkali menimbulkan gesekan, baik itu antara pejabat Tata Usaha Negara itu sendiri, maupun antara Pejabat Tata Usaha Negara dengan masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari stabilitas politik yang terjadi di negeri ini. Mental dan pengetahuan politik masyarakat Indonesia yang masih kurang pun juga memperngaruhi perkembangan pemerintahan itu sendiri.

Misalnya saja, dalam skala pemilihan kepala daerah, kerap kali timbul adanya “bagi-bagi jabatan”, entah dengan penamaan lelang jabatan, atau penamaan lain untuk melegitimasikan kultur nepotisme yang telah mengakar sejak dahulu kala. Bagi mereka yang tidak ingin masuk dalam “lingkaran” kekuasaan harus siap-siap terdepak dari kursi pemerintahan, entah bahasanya adalah “mutasi” atau “non-job”. Dengan alasan yang sangat bervariatif, tergantung pemimpinnya masing-masing.

Masalah yang timbul kemudian adalah, kurangnya pemahaman sebagian besar masyarakat Indonesia terkait Hukum Administrasi Pemerintahan itu sendiri. Ketika telah terjadi “maladminsitrasi” dalam sistem pemerintahan, kebanyakan masyarakat Indonesia atau dalam hal ini Pegawai Negeri Sipil “membeo” dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pimpinan, dengan pernyataan yang begitu tidak rasional, misalnya “karena mereka adalah pimpinan”, atau “karena takut untuk diberhentikan secara tidak hormat”.

Mental-mental seperti inilah yang seharusnya dihilangkan. Pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang berjalan sesuai dengan koridor dan peraturan perundang-undangan pula. Apabila pemerintahan yang baik ditafsirkan sesuai dengan perintah pemimpin, untuk apa kita bernegara. Lebih baiknya kita kembali ke pola feodalisme, toh bukannya kebanyakan masyarakat Indonesia masih susah untuk move on dengan kultur feodal yang masih mengakar sampai hari ini.

Produk eksekutif dapat ditafsirkan sebagai beschiking atau ketetapan. Hal ini pula diatur dalam Peradilan Tata Usaha Negara. Produk ini mengikat bagi siapa saja produk itu ditujukan, misalnya Surat Ketetapan Pengangkatan atau lain hal sebagainya. Keputusan Tata Usaha Negara itu sendiri bermacam-macam. Menurut Utrecht ketetapan dapat dibedakan menjadi beberapa macam, antara lain sebagai berikut :

1.       Ketetapan Positif dan Ketetapan Negatif
Ketetapan positif menimbulkan hak ddan/atau kwajiban bagi yang dikenai ketetapan, sedangkan ketetapan negative tidak menimbulkan perubahan dalam keadaan hukum yang telah ada. Ketetapan negative tersebut dapat dibedakan menjadi pernyataan tidak berkuasa (onbevoegd verklaring), pernyataan tidak diterima (neit ontvankelijk verklaring), atau suatu penolakan (afwijzing).
2.       Ketetapan Deklaratur versus Ketetapan Konstitutif
Ketetapan deklaratur sifatnya adalah menyatakan, sedangkan keputusan konstitutif sifatnya membuat hukum
3.       Keputusan Tata Usaha Negara Fiktif
Keputusan Tata Usaha Negara Fiktif adalah KTUN yang seharusnya dikeluarkan oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara menurut kewajibannya tetapi ternyata tidak diterbitkan, sehingga menimbulkan kerugian bagi seseorang atau Badan Hukum Perdata.
4.       Keputusan Tata Usaha Negara Fiktif Negatif
Berdasarkan Pasal 3 ayat (2), yaitu KTUN yang dimohonkan seseorang atau Badan Hukum Perdata, tetapi tidak ditanggapi atau tidak diterbitkan oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan. Sehingga dianggap bahwa Badan/Pejabat Tata Usaha Negara telah mengeluarkan keputusan penolakan (negative)

Selain itu Keputusan Tata Usaha Negara menimbulkan akibat yang bermacam-macam pula, yang dapat dijabarkan sebagaimana berikut :

1.       Menguatkan suatu hubungan hukum atau keadaan hukum yang telah ada (declaratoir).
2.       Menimbulkan suatu hubungan hukum atau keadaan hukum yang baru (constitutief).
3.       Menolak untuk menguatkan hubungan hukum atau keadaan hukum yang telah ada, dan menolak untuk menimbulkan hubungan hukum atau keadaan hukum yang baru.

Beberapa kasus yang pernah terjadi dan di sengketakan dalam Peradilan Tata Usaha Negara terkait mengenai tidak dikeluarkannya “kewajiban” dari pemangku kebijakan yang merugikan individu atau badan yang terkait dengan kebijakan itu sendiri. Hal ini dapat ditafsirkan sebagai Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat Fiktif Negatif, yang mana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) UUPTUN yang berbunyi “apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara’.

Keputusan Tata Usaha Negara tersebut termasuk dalam Sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 UUPTUN yang berbunyi “Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha Negara, antara orang atau Badan Hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha Negara, baik pusat maupun daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan”.

Jadi apabila Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang seharusnya menjadi kewajibannya tanpa disertai dengan dasar hukum dan bukti yang kuat, dapat ditafsirkan Pejabat Tata Usaha Negara tersebut telah mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara dengan berdasar kepada Pasal 3 ayat (1) UUPTUN yaitu keputusan Fiktif Negativ yang termasuk dalam sengketa Tata Usaha Negara.

Hal ini perlu untuk dipahami agar kiranya tidak terjadi kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh pemangku kebijakan atau “maladministrasi” dalam sistem pemerintahan, agar terwujud lah asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Komentar

Postingan Populer