Kegiatan Usaha Yang Dijalankan Tidak Ada Di Anggaran Dasar
"Maksud dan Tujuannya adalah usaha Soto Banjar, sedangkan kegiatan usaha yang dijalankan adalah Jual Seragam Sekolah, Bisakah?
Mengenai pencantuman Maksud dan Tujuan
suatu Perseroan Terbatas diatur berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang No. 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas ("UUPT")
beserta penjelasan yang mana berbunyi "Perseroan harus mempunyai maksud
dan tujuan serta kegiatan usaha yang dicantumkan dalam anggaran dasar Perseroan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dimana defenisi dari
maksud dan tujuan adalah usaha pokok Perseroan, sedangkan kegiatan usaha
merupakan kegiatan yang dijalankan oleh Perseroan dalam rangka mencapai maksud
dan tujuannya yang harus dirinci secara jelas dalam anggaran dasar, dan rincian
tersebut tidak boleh bertentangan dengan anggaran dasar". Dari konstruksi
Pasal 18 UUPT beserta penjelasannya, kita dapat menafsirkan bahwa Maksud dan
Tujuan Perseroan yang dicantumkan dalam Anggaran Dasar suatu Perseroan
merupakan usaha pokok Perseroan yang direalisasikan melalui kegiatan usaha yang
tidak bertentangan dengan usaha pokok Perseroan. Namun, beberapa masalah
timbul, bagaimana jika suatu Perseroan menjalankan usaha yang tidak tercantum
dalam Anggaran Dasar, apakah hal tersebut dilarang? meskipun kegiatan usaha
yang dijalankan bukan merupakan usaha pokok Perseroan.
Sebelumnya, perlu kita pahami bersama
bahwa pencantuman maksud dan tujuan serta kegiatan usaha dalam Anggaran Dasar
perseroan menurut Yahya Harahap memiliki fungsi prinsipil, yang mana
pencantuman tersebut merupakan landasan hukum bagi pengurus perseroan (Direksi)
dalam melaksanakan pengurusan dan pengelolaan kegiatan usaha suatu perseroan,
sehingga pada setiap transaksi atau kontrak yang dilakukan/dibuat tidak
menyimpang atau keluar maupun melampaui dari maksud dan tujuan serta kegiatan
yang ditentukan dalam Anggaran Dasar, melampaui kewenangan disebut juga sebagai
ultra vires. Pencantuman Maksud dan
Tujuan dalam Anggaran Dasar perseroan selain untuk menjelaskan terkait kegiatan
usaha suatu perseroan, juga berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab direksi
dalam perseroan itu sendiri.
Mengenai perumusan maksud dan tujuan
suatu perseroan, lebih lanjut dijelaskan oleh Yahya Harahap dalam bukunya Hukum
Perseroan Terbatas yang mengutip teori dari James D.Cox tentang teori perumusan
maksud dan tujuan perseroan yang terdiri atas 2 (dua): pertama, teori konsesi
yang mana dijelaskan bahwa dalam Anggaran Dasar harus dicantumkan beberapa
kegiatan usaha atau garis bisnis yang defenitif, dimana maksud dan kegiatan
usaha yang dicantumkan harus bersifat spesifik; kedua, teori fleksibel yang
mana dijelaskan bahwa dalam Anggaran Dasar dapat mencantumkan maksud dan tujuan
serta kegiatan usaha yang bersifat sederhana, meliputi berbagai bidang usaha
tanpa mengelaborasi lebih lanjut masing-masing bidang. Disamping kedua teori
sebelumnya, Yahya Harahap mengungkapkan bahwa perumusan tujuan perseroan dapat
mencakup ruang lingkup bisnis yang luas sesuai dengan kesepakatan para pendiri
Perseroan.
Fungsi prinsipil terkait maksud dan
tujuan suatu perseroan terbatas yang dimaksud oleh Yahya Harahap adalah : 1.
Untuk melindungi pemegang saham sebagai investor dalam perseroan; 2. Pemegang
saham sebagai investor akan diyakinkan bahwa direksi perseroan tidak akan
melakukan kontrak atau transaksi maupun tindakan yang bersifat spekulatif untuk
mengadu keuntungan diluar dari tujuan yang disebut dalam Anggaran Dasar; 3.
Direksi tidak melakukan transaksi yang berada diluar kapasitas maksud dan
tujuan serta kegiatan usaha yang disebut dalam Anggaran Dasar yang bersifat ultra vires.
Ultra
Vires
Sebenarnya apa sih yang dimaksud dengan ultra vires itu sendiri?, definisi dari
ultra vires dapat ditemukan dalam Black’s
Law Dictionary 9th Edition sebagai berikut:
“Unauthorized;
beyond the scope of power allowed or granted by a corporate charter or by law.”
Selain
itu, menurut Yahya Harahap dalam bukunya tentang Perseroan Terbatas, ultra vires merupakan doktrin yang
menjelaskan terkait tindakan direksi yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan
serta kegiatan usaha Perseroan yang ditentukan dalam Anggaran Dasar, dianggap
merupakan tindakan yang “melampaui kapasitas” Perseroan. Selain itu Yahya
Harahap juga mengambil defenisi ultra
vires dari Dictionary of English Law yaitu beyond
the powers yang berarti tindakan direksi yang tidak sesuai dengan maksud
dan tujuan serta kegiatan usaha, adalah tindakan di luar kekuasannya (beyond the power).
Pengertian yang hampir sama juga
dikemukakan oleh Merriam Webster’s
Dictionary of Law yang mendefenisikan bahwa ultra vires berasal dari bahasa latin yang berarti:
“Beyond
the power or means, beyond the scope or in execess of legal power or authority.”
Berdasarkan
defenisi dari ultra vires tersebut
diatas, kita dapat memahami bahwa ultra
vires merupakan tindakan dari direksi suatu perseroan yang melampaui
kewenangannya. Yahya Harahap lebih spesifik menjelaskan bahwa tindakan yang
melampaui kewenangan adalah tindakan yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan
serta kegiatan usaha Perseroan yang tercantum dalam Anggaran Dasar Perseroan.
Berbicara mengenai kewenangan direksi
dalam menjalankan pengurusan suatu perseroan dapat dilihat pada Pasal 92 ayat
(1) Juncto ayat (2) UUPT yang
mengatur bahwa, Direksi berwenang menjalankan pengurusan untuk kepentingan
Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan sesuai dengan kebijakan
yang dipandang tepat, dalam batas yang ditentukan dalam UUPT dan/atau anggaran
dasar, dimana maksud dari kebijakan yang dipandang tepat adalah kebijakan yang
antara lain didasarkan pada keahlian, peluang yang tersedia, dan kelaziman
dalam dunia usaha yang sejenis.
Dalam menjalankan kewenangannya,
disamping memperhatikan Pasal 92 UUPT, Direksi juga dapat berpatok pada Doktrin
Business Judgement Rule (Kemandirian
dari Direksi). Berdasarkan Black’s Law
Dictionary, Business Judgment Rule
didefenisikan sebagai:
“the presumprion that in
makin business decision not involving direct self interest or self dealing,
corporate directors act in the honest belief that their actions are in the
corporation best interest”.
Atau
dengan kata lain, suatu tindakan dalam membuat suatu keputusan bisnis tidak
melibatkan kepentingan diri sendiri, kejujuran dan mempertimbangkan yang
terbaik bagi perusahaan.
Business
Judgement Rule itu
sendiri diwejantahkan dalam Pasal 97 ayat (5) UUPT yang mengatur bahwa anggota
Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian Perseroan apabila dapat
membuktikan: a. kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; b.
telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk
kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan; c. tidak mempunyai
benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan
pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan d. telah mengambil tindakan untuk
mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.
Sesuai dengan penjelasan tersebut
diatas, pencantuman maksud dan tujuan suatu perseroan dalam Anggaran Dasar
memang harus dilakukan dan bersifat memaksa, namun perlu digaris bawahi bahwa
pencantuman terkait maksud dan tujuan adalah maksud dan tujuan untuk kegiatan
usaha pokok perseroan. Tidak ditemukan adanya sanksi atau larangan yang
mengatur bahwa suatu perseroan tidak boleh menjalankan kegiatan usaha selain
dari kegiatan usaha pokok yang tercantum dalam anggaran dasarnya. Yang
ditemukan adalah berkaitan dengan kewenangan direksi perseroan dalam hal
menjalankan kepengurusannya (ultra vires),
konsep tersebut ditujukan untuk melindungi pemegang saham suatu perseroan.
Dapat ditafsirkan direksi boleh saja menjalankan kegiatan usaha selain dari
kegiatan usaha pokok yang tercantum dalam anggaran dasar perseroan selama
pemegang saham setuju. Disamping itu, Doktrin Business Judgement Rule (Kemandirian dari Direksi) yang dimaksudkan
agar pengambilan keputusan usaha oleh Direksi yang telah beritikad baik dengan
penuh kehati-hatian, semata-mata untuk menguntungkan perseroan jangan sampai
dipertanyakan oleh pengadilan atau pihak-pihak yang berkepentingan sehingga menghambat
kemandirian dari Direksi.
Namun, apabila pemegang saham merasa
keberatan terhadap tindakan yang dilakukan oleh direksi, pemegang saham
diberikan hak sebagaimana diatur dalam Pasal 61 UUPT yang berbunyi "setiap
pemegang saham berhak mengajukan gugatan terhadap perseroan ke pengadilan
negeri apabila dirugikan karena tindakan perseroan yang dianggap tidak adil dan
tanpa alasan yang wajar sebagai akibat keputusan RUPS, Direksi, dan/atau Dewan
Komisaris yang mana gugatan tersebut diajukan ke pengadilan negeri yang daerah
hukumnya meliputi kedudukan perseroan".
Nice inpoh gan
BalasHapusKirain siape
Hapus