Demokrasi dan ruang yang begitu sempit

Demokrasi berasal dari bahasa yunani, demos dan kratos. Jargon yang sering diutarakan para “penggiat” demokrasi adalah suara rakyat adalah suara Tuhan. Lalu bentuk suara mana yang dikatakan suara rakyat? Kemudian rakyat yang mana “berhak” untuk bersuara?.
Fenomena tentang demokrasi dan kebebasan berekspresi, menyatakan pendapat dimuka umum mulai mencuat akhir-akhir ini, meskipun biasanya gaung demokrasi hanya didengarkan dalam kontestasi perpolitikan. Kebebasan menyatakan pendapat dimuka umum merupakan hak yang dilindungi oleh konstitusi, kebebasan menyatakan pendapat merupakan pengejewentahan dari asas suara rakyat adalah suara Tuhan, jadi jangan salah ketika negeri yang menganut paham demokrasi memberikan hak kepada warga negara untuk dapat bebas menyatakan pendapat dimuka umum, dengan catatan tidak berbenturan dengan aturan-aturan hukum yang berlaku.
Indonesia adalah negara hukum, paham negara hukum adalah paham dimana berjalannya pemerintahan berdasar dengan hukum yang berlaku, hukumlah yang menjadi panglima di negara hukum. Namun, hal yang miris ketika dinegara hukum, yang menjadi panglima adalah kekuasaan dan arogansi, menabrak kiri kanan aturan dengan dalih distribusi kewenangan. Menggunakan aturan sebagai pelindung melanggengkan kekuasaan, atau bahkan menyumbat telinga-telinga penguasa yang dikritik oleh rakyat.
Suara rakyat hanya dinilai sebagai angka, suara rakyat yang notabenenya tidak dapat dihitung melalui angka dinegara “demokratis” seperti Indonesia ditafsirkan merupakan angka-angka dalam kontestasi politik, jadi jangan heran jika ada pengekangan dalam mengutarakan pendapat dimuka umum, karena itu tidak ditafsirkan sebagai suara rakyat. Keinginan rakyat berhenti pada saat pemilihan umum, setelah itu suara rakyat yang dikalkulasikan tadi ditafsirkan telah didelegasikan kepada pemimpin yang terpilih lalu rakyat menunggu lima atau sepuluh tahun lagi untuk “bersuara”.
Pengekangan di negara “demokratis” ini dapat kita lihat dengan berbagai aturan yang keluar tentang batasan-batasan menyatakan pendapat. Kita ingat beberapa kasus hukum yang menjerat orang-orang yang menyatakan pendapat di muka umum, baik itu melalui demonstrasi maupun media sosial. Tidak terhitung berapa jumlah para aktifis mahasiswa maupun masyarakat yang ditahan bahkan dijerat oleh hukum, padahal mereka hanya menggunakan haknya untuk menyatakan pendapat dimuka umum, itupun dengan cara yang tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku dengan masyarakat, kecuali ditafsirkan norma adalah penguasa. Bahkan di peradaban yang maju sekarang ini, pengekangan itu tidak terhenti dalam ruang-ruang jalanan, di ruang media sosial pun tetap mendapatkan pengekangan, contohnya dengan menggunakan UU ITE untuk menjerat rakyat-rakyat yang mengeluarkan keluh kesahnya.
Kampus atau universitas merupakan corong peradaban. Peradaban yang ideal dapat dilihat dari cerminan kehidupan kampus yang bebas dan bertanggung jawab. Kampus merupakan tonggak ilmu pengetahuan yang bebas nilai, dalam artian semua orang bebas untuk menentukan pilihan masing-masing dalam memperoleh ilmu pengetahuan. Manusia yang berada didalam lingkungan kampus disematkan sebagai civitas akademika, orang-orang yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan ilmu pengetahuan. Mahasiswa sebagai salah satu kelas dalam kampus merupakan generasi penerus bangsa yang pula menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan ilmu pengetahuan.
Ibaratnya negara adalah sebuah keluarga, kampus lah yang menjadi orang tua, dimana kampus sebagai tempat untuk meminta pertimbangan dalam hal menjalankan sebuah negara, karena kembali lagi bahwa kampus adalah corong peradaban yang bebas nilai. Di lingkungan kampuslah dinamika masyarakat dapat dilihat, bahkan sampai persoalan negara kampuslah yang seharusnya memberikan berbagai macam solusi kepada pemangku kebijakan. Karena kampus merupakan lingkungan yang bebas nilai, seharusnya kampus pula menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi.
Realitas berkata lain, kampus-kampus tidak lagi memperlihatkan dirinya sebagai lingkungan yang bebas nilai, politik praktis menjangkiti para pemangku kebijakan didalam kampus, dimulai dari pemilihan rector bahkan sampai pemilihan dalam lembaga kemahasiswaan. Ruang gerak dan diskusi dibatasi dengan alasan produktifitas, dinilai bahwa diskusi merupakan kegiatan yang mebuang-buang waktu, berbeda dengan kompetisi yang menghasilkan, terutama nama baik universitas. Pemangku kebijakan dilingkungan kampus dinilai tidak menghargai hak terhadap kebebasan berpendapat bahkan sampai lingkungan sekecil kelas pun, dampaknya jika tetap ingin menggunakan haknya adalah berbagai metode yang digunakan untuk membuat nyali mahasiswa menjadi ciut, skorsing, drop out, nilai adalah hal yang terus digaungkan oleh pemangku kebijakan.
Demokrasi di negeri ini mungkin sudah diujung tanduk, kenapa tidak. Kampus yang seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi pun sudah tidak menerapkan dan menghargai nilai tersebut. Masyarakat luas yang seharusnya diberikan hak sesuai dengan konstitusi merasa terkekang bak hewan yang harus tunduk dengan majikan, tidak boleh “menggonggong” takutnya mengganggu ketertiban umum, jika nekat tunggu dampaknya sajalah. Kampus-kampus diam, karena terjerat oleh politik-politik praktis, kampus-kampus sudah tidak bebas nilai lagi. mahasiswa yang baik adalah masiswa yang penurut, bebas nilai hanya ada dalam tataran ide. Bertambah besar kegundahan hati, bahwa generasi penerus Indonesia dipersiapkan untuk menjadi babu ditanahnya sendiri.
“kekacauan sebuah peradaban terpengaruh dari kekacauan pendidikan, karena pendidikan adalah corong dari sebuah peradaban”
“penjajahan di dunia ketiga hari ini, bukan lagi penjajahan fisik, namun penjajahan intelektualitas”


Komentar

Postingan Populer