U.K.T : Uang Kuliah To’ (saja)

Pendidikan merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap warga negara Indonesia tanpa terkecuali, pendidikan merupakan saluran pencerdasan bagi negara untuk setiap warga negara, sesuai dengan amanah dari undang-undang dasar negara republic Indonesia 1945, yang termaktub dalam pembukaan uuud 1945 bahwa mencerdaskan kehidupan bagsa merupakan tujuan dari berdirinya negara kesatuan rebulik Indonesia itu sendiri.
Disamping itu, pendidikan merupakan hak asasi setiap manusia yang lebih tegas diatur dalam pasal 28 UUD 1945 tentang hak asasi manusia yang dijabarkan dalam pasal 28C (1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.(2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.
Pendidikan merupakan tonggak peradaban, kemajuan sebuah peradaban dilihat dari kuantitas pemikir-pemikir yang memberikan sumbangsi untuk kemajuan peradaban, hal inilah yang mendasari bahwa pendidikan merupakan hak yang begitu melekat pada diri manusia sebagai obyek dari suatu perdaban.
Pendidikan di Indonesia seyogyanya tetap mengacu kepada tujuan dari Undang-Undang Dasar itu sendiri, yang termaktub dalam batang tubuh pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dimana pendidikan bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa guna terlibat dalam upaya perdamaian dunia. Hal ini tentulah menjadi dasar segala pemikiran-pemikiran ynag berkaitan dengan pendidikan yang tujuannnya tidak lain adalah kecerdasan sebuah bangsa.
Sistem pendidikan yang diterapkan pun tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, dan hak asasi manusia, sebagaimana yang terjabarkan diatas bahwa pendidikan merupakan hak setiap bangsa Indonesia. Maka dari itu sistem pendidikan diupayakan untuk memenuhi hak-hak tiap bangsa itu tanpa terkecuali.
Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi melahirkan sistem baru tentang pendidikan, khususnya mengatur tentang Pendidikan Tinggi itu sendiri. Pada Pasal 62 mengatur tentang pengelolaan perguruan tinggi (1) Perguruan Tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan Tridharma.(2) Otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan dasar dan tujuan serta kemampuan Perguruan Tinggi.(3) Dasar dan tujuan serta kemampuan Perguruan Tinggi untuk melaksanakan otonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dievaluasi secara mandiri oleh Perguruan Tinggi.(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai evaluasi dasar dan tujuan serta kemampuan Perguruan Tinggi untuk melaksanakan otonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri. Selanjutnya dalam Pasal 63 diatur tentang prinsip pengelolaan perguruan tinggi antara lain a. akuntabilitas, b. transparansi, c. nirlaba, d. penjaminan mutu, e. efektifitas dan efisiensi.
Pendidikan tinggi merupakan wadah penyalur untuk mencapai kecerdasan suatu bangsa, ditekankan lebih lanjut bahwa pengelolaan pendidikan tinggi adalah melalui sistem nirlaba, artinya pendidikan tinggi semata-mata untuk kepentingan dari kualitas pendidikan itu sendiri dan menghilangkan pandangan tentang untung dan rugi.
Sistem otonomi pendidikan yang diatur oleh UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi sarat akan liberalisasi dan komersialisasi pendidikan itu sendiri. Salah satu contohnya dalam Pasal 64 UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang mengatur bahwa “Otonomi pengelolaan perguruan tinggi sebagaimana dimaksud dengan pasal 62 mencakupi bidang akademik dan non-akademik”
Analisis terkait masalah liberalisasi dan komersialisasi pendidikan dengan adanya sistem pengelolaan pendidikan tinggi tidak terlepas dari kajian terhadap Pasal 62 ayat (1) dan ayat (2), bahwa negara memberikan wewenang penuh terhadap pendidikan tinggi untuk melakukan evaluasi terhadap pengelolaan secara mandiri. Hal ini bertentangan dengan peran pemerintah dalam memajukan kualitas dan pengawasan sistem pendidikan, sehingga negara cenderung lepas tangan terkait pengelolaan pendidikan.
Otonomi pendidikan tinggi masih kurang tepat digunakan sebagai sistem pengelolaan pendidikan, dengan alasann bahwa negara sampai hari ini masih mampu untuk mengelola sistem pendidikan untuk mencapai tujuan dari pendidikan itu sendiri, sehingga pendidikan sebagai salah satu metode hegemoni bisa maksimal, jadi tidak ada ketimpangan pengetahuan antara pendidikan tinggi yang satu dengan pendidikan tinggi yang lainnya.
Otonomi pendidikan tinggi pun sampai hari ini masih banyak di salah artikan oleh para pemangku kebijakan dilingkup pendidikan tinggi. Salah satu contohnya adalah penerapak Uang Kuliah Tunggal yang masih berjalan setengah hati, di satu sisi semangat uang kuliah tunggal adalah untuk tidak membebani para mahasiswa dalam hal menjalankan program pendidikan, disisi lain kampus-kampus mematok harga setinggi langit tanpa ada kajian yang ilmiah tentang penerapan UKT ini, sehingga beberapa dari masyarakat telah dilanggar haknya untuk mengenyam pendidikan tinggi.
Misalnya dibeberapa kampus ternama di Indonesia, Uang Kuliah Tunggal di bagi menjadi beberapa golongan sesuai dengan kemampuan ekonomi mahasiswa itu sendiri, namun kenyataan dilapangan bahwa pembagian golongan itu tidak dibarengi dengan kajian ekonomi dan sosial masyarakat di lingkup kampus itu sendiri, sehingga penerapan Uang Kuliah cenderung mengada-ada, terlebih dengan motif subsidi silang yang samapi hari ini masih belum jelas metode dan transparansi anggaran subsidi silang itu sendiri.
Berbeda halnya dengan beberapa kampus yang telah menerapkan UKT sesuai dengan kajian kebutuhan mahasiswa selam kuliah, jadi setiap fakultas maupun jurusan tentu berbeda Uang Kuliah yang dibutuhkan, hal ini sesuai dengan kebutuhan mahasiswa dikaji dari kebutuhan mahasiswa tiap fakultas tiap semesternya masing-masing, dan UKT yang diterapkan telah memenuhi prosedur transparansi sehingga UKT tetap relaistis sesuai dengan tujuan awal diberlakukannya UKT itu sendiri.
Pemahaman saya tentang UKT adalah Uang yang dibutuhkan oleh mahasiswa selama dia kuliah dalam keperluan kegiatan-kegiatan akademik maupun non akademik, sehingga UKT ini harus jelas penentuan dan pengeluarannya. Misalnya sebagai contoh, mahasiswa fakultas hukum selama kuliah dalam satu semester membutuhkan biaya kuliah sejumlah Rp. 600.000,-, angka tersebut diambil dari pengeluaran mahasiswa tiap semesternya seperti biaya buku, penelitian dan lain sebagainya.
Dalam dalam realitasnya, penerapan UKT banyak yang tidak sesuai dengan pengeluaran mahasiswa tiap semesternya, sehingga menimbulkan berbagai permasalahan, misalnya konsep UKT telah diterapkan namun mahasiswa masih wajib untuk membeli buku atau diktat-diktat, membayar uang lab, atau membayar uang penelitian. Sehingga UKT sama seperti pembayaran SPP Cuma nominal saja yang di naikkan.
Mungking saya dapat mengambil kesimpulan tentang penerapan UKT bahwa UKT adalah Uang Kuliah To’ (saja), jadi hal-hal yang diluar perkuliahan tidak termasuk dalam pembiayaan UKT. Perlu kita sadari bahwa kuliah hari ini di defenisikan sebagai kegiatan belajar mengajar di dalam kelas.


Komentar

Postingan Populer