Agustus
Agustus 1945
berbeda dengan agustus sebelumnya dan agustus sesudahnya. Yah, euphoria kemerdekaan
yang diselenggarakan tiap agustus semakin tahun semakin berbeda. Semangat yang
direpresentasikan dengan bendera, umbul-umbul, upacara dan kegiatan yang
mencerminkan gotong royong pun semakin berbeda.
Saya tidak
pernah berada pada agustus 1945, saya juga tidak berada pada agustus sebelum-sebelumnya,
agustus pertama yang saya rasakan adalah agustus 2003 yang diwarnai cerita
lucu. Agustus bagi saya dahulu tidak lebih dari perkemahan pramuka, waktu itu
masih jenjang sekolah dasar (SD) di kabupaten saya menyelenggarakan perkemahan
pramuka tingkat kabupaten persis dibelakang gedung DPRD kabupaten saya. Lokasinya
adalah tempat pembuatan batu merah (red: Bata), waktu itu saya belum
diperbolehkan untuk mengikuti kegiatan perkemahan, saya hanya menjadi
penjenguk, menjenguk kakak saya yang sedang berkemah sebagai bentuk
nasionalismenya sebagai generasi penerus bangsa.
Agustus selanjutnya
adalah agustus dengan rutinitas yang sama, saya masih berpegang teguh bahwa
agustus adalah mengibarkan bendera di masing-masing rumah, mengkuti upacara
bendera di alun-alun kabupaten, dan menyaksikan kegiatan-kegiatan
kemasyarakatan di sudut-sudut kabupaten. Sampai ketika agustus 2011 yang
berubah. Agustus di kota adalah agustus yang tidak sesuai dengan pandanganku
selama ini, agustus yang dimana semaraknya hanya sampai di lorong-lorong
sempit, namun tidak masuk kedalam bangunan-bangunan megah.
Kenapa agustus?
Apakah akibat janji jepang yang tak kunjung terealisasikan? Ataukah konflik
kaum muda dan tua? Silahkan dibaca sejarah itu sendiri, jas merah bukan? Setiap
agustus saya suka mendengarkan pidato dari bung karno, pidato yang menggema
sampai ke batin. Pidato kenegaraan istilahnya, yang berbobot. Tidak salah jika
pidato soekarno dikatakan memiliki ruh, nyawa yang mampu menggerakkan hati. Pidato
yang disusun matang berdasarkan pengetahuan yang mumpuni, pidato yang bukan
hanya sekedar intonasi kalimat dan pemilihan diksi yang tepat, namun juga
memiliki konsep dan tujuan.
Saya sempat
penasaran mendengar pidato-pidato yang dikumandangkan ketika upacara agustus,
mungkin saya bisa menyimpulkan pembacaan teks. Kenapa tidak? Saya melihat
mereka-mereka yang menjadi pemimpin hanya menjadi corong bagi pemimpin diatasnya,
pidato yang dibacakan tidak lebih dari sekedar tulisan diatas kertas kecil yang
terlihat disudut manapun kita berdiri. Mungkin itulah sebabnya kenapa hati kita
tidak tergerak untuk mendengarkan, namun tubuh kita harus patuh terhadap
kewajiban.
Agustus 2016,
adalah agustus yang cukup mengagetkan. Siang itu saya baru pulang dari luar
daerah mengerjakan riset, kemudian di kompeks saya sudah banyak terpasang
umbul-umbul dan bendera, salah satu syarat memasuki bulan agustus. Sesampainya didepan
rumah, saya melihat tetangga saya yang seorang tentara sibuk memasang
tiang-tiang bendera di tiap rumah tetangga saya yang lain. Sebagai masyarakat
yang tahu tata krama, saya memuai pembicaraan basa basi, yang berujung pada
perdebatan dan penghakiman.
Kenapa kamu
tidak memasang bendera didepan rumahmu? Tanyanya. Saya dengan agak sedikit
kaget menjawab, saya sehabis pulang melakukan riset pak, belum sempat membeli
bendera. Kamu ini orang Indonesia bukan? Tahu nasionalisme tidak? Bukannya kamu
mahasiswa? Harusnya kamu lebih paham hal-hal seperti ini, ataukah karena
pembicaraan yang selalu saya dengarkan tiap malam dirumah kamu sehingga kamu
tidak ingin memasang bendera? Ataukah kamu tidak memiliki pancasila? Cecarnya. Saya
ingin menjawab satu persatu pertanyaan tersebut, namun apa daya saya bukan pria
berseragam.
Saya akan
pasang pak, dengan cara saya sendiri. Untuk menghindari perdebatan yang
berlanjut dan menghargai sesama tetangga. Kenapa bentuk nasionalisme saya
digambarkan dengan bendera? Setiap agustus bersama almarhum bapak saya saya
memasang bendera di rumah saya di kampung, sambil menaikkan bendera saya dengan
lantangnya menyanyikan lagu Indonesia raya, dan ketika sampai pada puncaknya
saya berdiri siap sempurna dan hormat. Meskipun kondisi saya waktu itu menjadi
bahan tertawaan teman sebaya saya, tapi saya tetap bangga.
Ketika agustus
telah lewat, telah turun pula bendera itu. Momen ini yang saya tunggu, saya
tidak menurunkan bendera depan rumah saya. Tetangga saya yang tadinya menyuruh
untuk menaikkan bendera, sekarang malah balik bertanya kenapa bendera saya
telah diturunkan? Saya kemudian menjawab, saya akan turunkan setelah waktunya
pak. Dia menyangga, bukannya sudah lewat agustus? Simpan saja bendera itu
baik-baik, nanti luntur atau sobek. Iya pak, saya usahakan jawabku. Saya heran,
apakah bendera harus dikibarkan hanya agustus saja? Ataukah tiap senin pagi,
kemudian sabtu sore diturunkan kembali? Nasionalisme punya waktu rupanya.
Saya ingat
april 2015, ditengah kota yang padat depan lorong yang begitu sempit, kumuh,
dihuni oleh orang-orang yang memiliki pendidikan yang minim, didepan lorong itu
saya melihat bendera merah putih yang kusam, robek, namun tetap mempertahankan
bentuknya. Iseng saya bertanya kepada salah satu penghuni lorong itu, pak
kenapa ada bendera yang dikibarkan didepan lorong? Bukannya belum agustus? Ataukah
lupa dilepaskan? Jawaban bapak mempengaruhi pandangan saya terhadap
kemerdekaan, dek bendera itu sengaja dipasang didepan untuk mencerminkan bahwa
orang-orang yang disini adalah orang yang merdeka, semenjak lahir sampai mati. Bendera
itu simbol kemerdekaan manusia, bukan hanya kemerdekaan bangsa dan Negara,
bendera itu untuk mengingatkan pemerintah dan pemilik modal bahwa Indonesia adalah
bangsa yang merdeka, bahwa bendera itu direbut oleh tangan-tangan rakyat
seperti kami, bukan hanya golongan berdasi atau berduit.
Apakah agustus selanjutnya akan menjadi simbol? Ataukah meresap dibatin
tiap bangsa Indonesia? Ini persoalan waktu, dan bagaimana cara menyelami makna
agustus itu sendiri. Merdeka atau Mati bukan?
Komentar
Posting Komentar