KITA Part 1
Malam itu langit begitu terang,
menampakkan terang bintang-bintang, dihiasi siluet gedung-gedung pencakar
langit wujud kesombongan seonggok daging ibarat menara gading sebagai simbol,
begitu terangnya langit tanpa ada polusi udara sedikitpun yang menghalangi
pandangan untuk menatap tiap bintang dan mencoba menghitungnya. Perhitunganku kadang
meleset dengan konsetrasiku yang kadang buyar meresepai tiap lirik dari Efek
Rumah Kaca – Jatuh Cinta Itu Biasa Saja, apakah aku sedang jatuh cinta? Yang begitu
biasa bagi umat manusia, jatuh cinta ditengah kesombonganku terhadap
kemanusiaan, melihat betapa kecilnya diriku diantara jutaan bintang yang
menghiasi langit, dan betapa kecilnya diriku menjadi bagian dari alam semesta.
Kucoba kembali meresapi tiap lirik
dari musik ciptaan manusia itu sendiri, jika seni itu adalah anugrah kenapa
saya tidak pernah diberikan kesempatan untuk sekedar mengeluarkan
kalimat-kalimat romantic yang mampu menundukkan segala macam ciptaan-Nya? Sembari
menyicipi segelas kopi dan sebatang rokok kretek, tenggelamlah jiwaku
mendayu-dayu bersama lirik lagu dan keheningan malam itu. Entah berapa lama
diriku tenggelam, seakan kaki tidak terpijak lagi dibumi, seakan waktu berhenti
dan mulai menemaniku dalam malam.
Musik terhenti dengan sendirinya,
bukan menandakan musiknya sudah selesai, namun pertanda bahwa ada pesan yang
masuk. Yah, seperti biasa aku mendengarkan musik melalui teknologi buatan
manusia itu sendiri. Ada yang bilang musik diciptakan oleh manusia untuk
menafsirkan suara-suara alam yang begitu merdunya dan bahkan menjadi salah satu
pelengkap ritual bagi mereka yang ingin bertemu dengan pencipta.
Pesan yang masuk adalah pesan dari
orang yang begitu dekat, sedekat nadi itu sendiri. Seperti biasanya, diriku
tetap melanjutkan aktifitas menyeruput kopi dan menghembuskan asap yang mampu
merusak paru-paru namun memberikan efek tenang pada otak. Apa yang harus aku
balaskan kepada pesan-pesan yang masuk itu? Apakah hanya sekedar dibaca saja,
ataukah harus dibalas. Membalasnya berarti kembali kerealitas itu sendiri, aku
takut terhadap posisiku sekarang, aku tak ingin berada dalam realitas.
Kurang lebih beberapa bulan yang lalu,
pertemuan yang secara tidak sengaja itu berlangsung. Seperti biasa, pria kurus
dengan rambut acakan ini berjalan mencari inspirasi untuk dirinya sendiri. Manusia-manusia
memerlukan inspirasi untuk menelurkan sebuah maha karya, aku? Aku hanya ingin
menikmati inspirasi itu sendiri dengan diriku sendiri, aku hanya ingin
inspirasi itu melekat dengan diriku tanpa perlu kutransformasikan kedalam maha
karya. Aku takut, apa yang kulakukan kepada inspirasi itu menjadi penghambat,
bukannya alam materi itu adalah alam yang penuh dengan keterbatasan? Biarlah inspirasi
itu berada jauh di alam ide, agar kemurniannya tetap terjaga.
Halo halo halo, sapanya pas didepan
wajahku. (Sekali lagi dalam beberapa kejadian aku tenggelam dalam imajiku
sendiri, terlepas dari realitas, hilang). Sembari menjentikkan jarinya tepat
didepan mataku. Iya, maaf ada apa yah? Kamu ini dari tadi saya perhatikan
sedang menghayal, hati-hati loh nanti kesambet, biasanya orang kalau kesambet
ditempat umum bisa susah untuk disembuhinnya, belum lagi dikira orang gila,
atau pas kerumunan orang datang barang-barang berharga bisa hilang loh,
ketusnya seolah dia adalah paranormal yang sedang berdandan lebih kekinian.
Terima kasih yah sudah mengingatkan,
maaf juga kalau lamunan saya membuat kamu menjadi merasa terganggu, atau
jangan-jangan kamu ini paranormal yang mencari orang-orang yang lagi tenggelam
dengan dirinya sendiri? Jawabku. Hahahaha, bisa aja kamu ini. Eh,
ngomong-ngomong kenapa kamu selalu melamun sih? Atau hobbynya emang gitu yah?. (pertama-tama
aku memang suka melamun, selanjutnya kenapa dia tahu kalau aku sering melamun?)
kok kamu tahu?, kamu kan tiap hari lewat sini, berdiri dekat gedung itu tuh,
kemudian beberapa saat melamun sendiri kayak orang gila, aku sering merhatiin
kamu, lucu sih. Berarti kamu ini orang yang memiliki rasa empati yang tinggi
yah? Suka peduli terhadap lingkungan sekitar, walaupun sebenarnya orang lain
tidak mau dipedulikan. Iya iya, maaf aku mengganggu privasi kamu. Hehehe,
santai-santai, ngomong-ngomong makasih yah sekali lagi.
Sejak pertemuan itu, kami mulai saling
mengenal satu sama lain. Lewat jejaring media sosial yang saat ini digandrungi
oleh muda-mudi. Pertemuan demi pertemuan
selanjutnya menjadi kebiasaan, kebiasaan-kebiasaan yang awalnya berkonsep ke-aku-an
kini menjadi kebiasaan yang berkonsep ke-kita-an. Yah, mungkin sajak salah satu
filsuf yang terkenal mampu menjadi simbol akan kebiasaan-kebiasaan itu sendiri,
aku adalah aku yang kini tenggelam dalam kita, aku tidak tenggelam dalam
dirimu, kamu pun tidak tenggelam dalam diriku, tapi kita tenggelam bersama-sama
menjadi sesuatu yang baru yaitu kita.
Kita akan menyatu ke-kita kita yang
lain, menjadi sebuah kelompok yang dinamakan manusia. Prinsip yang kita gunakan
adalah sama, memandang manusia sebagai bagian dari komunitas-komunitas yang
menyatu membentuk ego semesta, ego individu melebur menjadi ego kelompok,
kemudian melebur menjadi ego semesta. Itulah defenisi kita terhadap sebuah
hubungan yang menjadi bagian dari jagad raya ini. Itu yang kau ucapkan padaku
saat kita mulai membuat sebuah komitmen. Yah, masing-masing dari kita harus
melepaskan diri, menjadi kita sebagai subyek baru sebagai identitas baru yang
akan mengikuti kita dalam menjalani hidup.
Untuk menuju ke-kita-an, kita harus
mengenal diri kita masing-masing terlebih dahulu, itu adalah syarat yang aku
keluarkan. Karena, jika kita telah melebur menjadi kita, kita seharusnya
melupakan ke-aku-an kita masing-masing, aku itu adalah yang lalu yang telah
kukenali, dan sekarang adalah kita yang baru yang menjalani. Kita akan menjadi
bagian dari semesta yang berjuang menjadi sesuatu yang baru, konsekuensi
menjadi kita adalah, hilangnya aku dalam diriku dan hilangnya kamu dalam
dirimu, aku tidak akan menjadi aku lagi jika terlepas dari kita, begitupun
dengan kamu. Jika terlepas, maka aku bukanlah aku sebelum dan didalam kita, dan
kamu bukanlah kamu sebelum dan dalam kita. Segalanya berubah bukan?
Jika
kamu belum siap meleburkan aku didalam kita, persiapkanlah dirimu terlebih
dahulu, mengingat konsekuensi yang telah kupaparkan sebelumnya agar nantinya
kita dapat menghidupi sebuah cinta, menjadikan kita menjadi kita, tanpa ada aku
dan kamu selain kita. Siapkah kamu?
Komentar
Posting Komentar