PERKAWINAN HARUS SESUAI DENGAN HUKUM

 




Telah disepakati bersama, bahwasanya Indonesia adalah negara hukum (recht staat) sehingga salah satu konsekuensi logis dari kesepakatan tersebut adalah interaksi sosial yang terjadi pada masyarakat tentunya terikat pada norma-norma hukum yang telah ditetapkan oleh pembuat undang-undang.   

Namun, dalam interaksi sosial yang terjadi di lingkungan masyarakat, terkadang masyarakat melupakan hukum itu sendiri, bahkan kerap kali hanya bersandar pada kebiasaan-kebiasaan yang tentunya dengan tafsir masing-masing menyimpulkan bahwa kebiasaan itu merupakan salah satu sumber hukum sehingga kebiasaan itu adalah hukum. Sejak Indonesia masih di”kawal” oleh pemerintahan hindia belanda sampai dengan hari ini, telah banyak hukum positif yang tercipta, bahkan beberapa tahun belakangan, untuk mengakomodir banyaknya hukum positif tersebut, pemerintah telah menerapkan konsep omnibus law untuk “menyederhanakan” hukum itu sendiri. Meskipun pada akhirnya, masih banyak masyarakat yang tetap menggunakan nalar yang tidak berdasar untuk menafsirkan hukum itu sendiri.   

Saya tergelitik pada saat membaca sebuah berita tentang adanya pasangan muda mudi yang digrebek didalam tenda pada suatu perkemahan, kemudian tiba-tiba warga yang menggrebek pasangan muda-mudi tersebut menikahkan mereka pasa saat itu juga, setelah menelusuri lebih jauh berita tersebut dan mencari tahu proses “pernikahan” yang terjadi pada saat itu, rasanya ada mis-interpretasi yang dilakukan oleh warga, bukannya membenarkan tindakan yang dilakukan oleh pasangan muda-mudi tersebut, namun melalui tulisan ini, saya ingin menyampaikan sedikit keresahan saya tentang pemahaman syarat pernikahan baik itu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara Republik Indonesia maupun jumhur ulama dalam Kompilasi Hukum Islam.   Pernikahan atau perkawinan tentunya adalah ikatan lahir batin yang mengikat sepasang manusia yang tentunya memiliki syarat-syarat yang ditetapkan oleh Sang Pencipta. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 mengatur bahwa Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa, selain itu berdasarkan ketentuan Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam mendefisinikan perkawinan sebagai pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.   


Selanjutnya, pada ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan mengatur bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sedangkan rukun perkawinan bagi umat islam, suka tidak suka telah disepakati dalam Kompilasi Hukum Islam sebagaimana tertuang dalam ketentuan Pasal 14 yang berbunyi: untuk melaksanakan perkawinan harus ada: a. Calon suami; b. Calon istri; c. Wali nikah; d. Dua orang saksi; dan e. Ijab dan Kabul. Terkait dengan wali nikah, lebih ditegaskan lagi pada ketentuan Pasal 19 dan Pasal 20 yaitu wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya, dimana yang bertindak sebagai wali nikah adalah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum islam yakni muslim, aqil dan baligh yang terdiri dari wali nasab atau wali hakim.   


Kembali kepada permasalahan dalam berita sebelumnya, warga yang menggrebek kemudian menikahkan pasangan muda-mudi tersebut, menimbulkan pertanyaan yang kritis, apakah salah satu diantara warga tersebut adalah wali nasab dari perempuan yang digrebek tersebut?, pada faktanya wali nasab perempuan tersebut tidak ada bahkan tidak mengetahui adanya kejadian tersebut, sehingga tentunya kejadian yang terjadi pada saat itu tidak dapat dikatagorikan sebagai pernikahan yang dipahami oleh hukum yang berlaku di Indonesia.   Salah tafsir tentang perkawinan, mulai dari proses maupun syarat ataupun rukun perkawinan tentunya akan berdampak besar baik bagi pasangan maupun anak keturunannya. Salah satu tantangan hukum perkawinan di Indonesia khususnya bagi yang beragama islam adalah pengetahuan dan pemahaman warga tentang UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Istilah yang paling umum dan kerap kali muncul dikalangan masyarakat adalah kawin sirri atau nikah dibawah tangan, yang umumnya dikarenakan pernikahan tersebut tidak dicatatkan pada Kantor Urusan Agama, padahal undang-undang telah mensyaratkan bahwa setiap perkawinan itu wajib dicatatkan di Kantor Urusan Agama, namun terkadang masyarakat menyederhanakan solusi atas perkawinan sirri itu dengan mengajukan isbat nikah pada Pengadilan Agama.  

Tentunya negara tetap hadir untuk menjawab solusi atas permasalahan masyarakat melalui alat negara yaitu hukum, namun perlu diingat kembali bahwa Kompilasi Hukum Islam telah menetapkan persoalan isbat sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 7 ayat (3) dengan berbagai ketentuannya, karena kurangnya pemahaman mengenai hukum perkawinan tentunya banyak merugikan bagi warga, berbagai permasalahan timbul karena penyederhanaan konsep isbat nikah, beberapa kasus dapat menjadi contoh antara lain perkawinan sirri yang dilakukan oleh seseorang yang masih terikat dalam pernikahan dengan orang lain (belum memiliki akte cerai), perkawinan yang dilakukan tanpa memenuhi rukun nikah (wali yang tidak sah, kawin lari dan semacamnya), perkawinan anak di bawah umur tanpa adanya penetapan dispensasi kawin, dan setiap perkawinan yang dilaksanakan namun tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tentunya tidak dapat dilakukan isbat nikah. Hal ini telah diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2012 yang berisi “pada prinsipnya nikah siri dapat diisbatkan sepanjang tidak melanggar undang-undang. Ketentuan hukum penetapan isbat nikah sama dengan kekuatan hukum akta nikah (Pasal 7 ayat (1) dan (2) Kompilasi Hukum Islam)”, yang ditekankan pada SEMA tersebut adalah Sepanjang Tidak Melanggar Undang-Undang, sehingga apabila terdapat salah satu atau lebih undang-undang yang dilanggar dalam proses pernikahan sirri/ pernikahan bawah tangan, maka pernikahan tersebut tidak dapat di isbatkan (disahkan).






Komentar

Postingan Populer