Mahasiswa : Belajar berdemo dari Ojek Online

Selasa 27 Maret 2018, tepatnya didepan istana presiden, terjadi demo besar-besaran yang dilakukan oleh driver (red: Pengemudi) Ojek Online (“Ojol”). Mungkin seperti itulah tagline berita di Koran pada hari selanjutnya, atau di media online pada hari yang sama. Salah satu media online mewartakan, demonstrasi tersebut “dihadiri” kurang lebih 1000 (seribu) driver Ojol yang terdiri dari beberapa komunitas Ojol disekitaran Jabodetabek. Tuntutannya adalah untuk mengembalikan skema tariff Ojol kepada skema tariff sebelumnya yaitu hitungan per kilometer atau lebih tepatnya Rp. 4.000,-/Km (empat ribu Rupiah) per kilometer. Dimana penetapan tariff Ojol turun diangka Rp. 1500,-/Km (seribu lima ratus Rupiah) per kilometer sampai dengan Rp. 2.000,-/Km (dua ribu rupiah) per kilometer. Disamping itu, mereka menuntut negara untuk memberitahukan kepada pihak perusahaan yang menganggap mereka sebagai mitra menghilangkan sistem promo dan bonus untuk customer (red: penumpang) karena telah mengurangi “laba” bagi mereka yang “menghibahkan” dirinya di profesi per-Ojol-nan.
Beberapa wawancara yang saya lakukan dengan driver Ojol (biar tulisan ini terkesan ditulis dengan serius) mengatakan bahwa, perusahaan yang memayungi Ojol lebih mementingkan kepuasan dari customer dibandingkan mereka sebagai mitra, seharusnya mitra juga dilibatkan dalam penentuan skema tarif, bonus, merchandise dll untuk customer sehingga tidak ada ketimpangan yang terjadi antara driver dan costumer dilapangan, karena yang merasakan panas, dingin, demam asmara adalah driver itu sendiri. Mereka juga ingin dilibatkan dalam pengambilan keputusan melalui rapat-rapat yang dilakukan oleh pimpinan perusahaan (Rapat Umum Pemegang Saham), karena mereka “menisbahkan” diri mereka menjadi saham. Mereka juga menyarankan agar pimpinan perusahaan Ojol lebih pro kepada driver dari pada customer, karena mereka adalah mitra, bukan buruh apalagi budak. Pada perbincangan-perbincangan ini, saya tidak banyak bicara, apalagi untuk menjelaskan prinsip bisnis itu sendiri, dimana bukan bidang keahlian saya, terlebih menjelaskan bagaimana roda kapitalisme itu berjalan sedemikian rupa sehingga muncullah jurang pemisah antara kaum borjuasi dan kaum proletar. Saya diam dan mendengarkan sajalah, untuk bahan tulisan.
27 Maret 2018 mungkin sewaktu-waktu akan dijadikan hari Ojol se-Indonesia, cukup se-Indonesia sajalah dulu, untuk sedunia saya rasa terlalu rendah. Indonesia sudah mewakili dunia dalam segala hal, urusan toleransi, urusan atoleransi, urusan kulturasi, urusan akulturasi, urusan agama, urusan a-agama, dan lain sebagainya. Saya melihat gerakan ini akan menjadi gerakan perubahan (bukan tagline salah satu partai) dari awalnya adalah kesadaran akan perut, menuju kesadaran politik, kesadaran akan adanya persamaan hak dalam ekonomi, dan berputar kembali kepada kesadaran akan perut. Saya menjadi semangat melihat ekspresi driver Ojol yang menggebu-gebu ketika menceritakan keterlibatan mereka semua dalam aksi didepan istana itu sendiri, saya membayangkan bagaimana bangganya para mahasiswa (aktivis) 1998 yang terlibat dalam “keberhasilan menumbangkan” rezim Orba, walaupun sekarang di TV Nampak kebanggaan mereka saat diajak untuk berdebat dan segala macamnya, romantisme memang selalu membuat bangga.
Tunduk Tertindas atau Bangkit Melawan
Jargon tersebut diatas selalu membayangiku sewaktu masih berstatus sebagai mahasiswa secara formal, jargon itu dieluhkan sama kawanku ketika kami “merasa” dalam ketertindasan, saat apa yang kami inginkan tidak terpenuhi, itulah ketertindasan dalam pahamanku sampai hari ini. “yang kami inginkan tidak terpenuhi”, mungkin itulah juga perasaan dari para driver Ojol yang mengatakan mereka adalah kaum yang tertindas karena “keinginan mereka” untuk mendapatkan uang dan kemapanan dengan bermodalkan keahlian dalam lika-liku jalan tidak terpenuhi. Namun beberapa hal yang saya pelajari dari aksi Ojol tersebut. Pertama, penyatuan isu, hal ini kadang dilakukan saat masih menjadi mahasiswa, bagaimana kita mengupas suatu isu atau permasalah sosial disajikan kebangku-bangku diskusi melalui konsolidasi, berdebat dan tidak menemukan titik temu yang pasti tentang apa isu yang akan diangkat sebenarnya. Hal inilah yang membuatku belajar, bahwa selama saya bergerak, saya tidak memiliki isu yang jelas, namun tetap “ngotot” berjuang atas nama rakyat.
Kedua, isu itu harus terpropagandakan dengan baik dan massif. Isu akan permintaan perubahan skema tarif dan penghapusan bonus merupakan isu yang paling gampang untuk terpropagandakan, kenapa tidak? Ini persoalan perut coy. Sedangkan, gerakan mahasiswa hanya sebatas propaganda dilingkaran tengah, tanpa memperdulikan capaian dari propaganda itu sendiri, mungkin saya bukan ahli dalam hal propaganda, namun propaganda yang kalian lakukan itu, Kuno. Misalnya Ketua BEM UI yang berniat untuk melakukan propaganda terkait penilaian mereka terhadap pemerintahan Indonesia saat ini dengan menggunakan kartu kuning, tidak mendapat respon dari Mahasiswa lainnya, malahan hanya mendapat cacian dan makian, disamping itu analisis cocoklogi yang mencocok-cocokkan latar belakang Ketua dengan gerakan yang dia lakukan. Kaum intelektual kok pake dasar cocoklogi.
Ketiga, solidaritas massa. Saya melihat beberapa foto dari demonstrasi yang dilakukan oleh Ojol didepan istana, hampir semuanya berpakaian hijau, pakaian “kebesaran” mereka. Hal ini dapat mengurangi masuknya antek-antek asing yang pro terhadap fasisme dan kapitalisme. Seperti dalam bukunya Tan Malaka Aksi Massa, “dalam sebuah aksi massa tidak bisa dipungkiri adanya putch, putch  inilah yang harus dihindari”, siapakah itu putch silahkan cari tahu sendiri. Hal ini digambarkan pada adanya beberapa driver Ojol yang memukul driver lainnya yang sedang mengantar orderan (red: pesanan) karena dia menodai nafas pergerakan yang dilakukan oleh rekan sesam driver. Hal ini kadang terjadi dilingkungan gerakan kemahasiswaan, dimana massa aksi menahan mereka-mereka yang tidak ingin ikut dalam gerakan dengan menganggap mereka sebagai “pengkhianat”.
Seperti judul tulisan diatas, walaupun tulisan ini tidak mengupas banyak terkait bagaimana harusnya mahasiswa belajar kepada driver Ojol dalam hal demonstrasi, tidak mengurangi rasa hormat saya kepada status mahasiswa itu sendiri, saya hanya ingin menyampaikan diakhir tulisan saya ini, bahwa mahasiswa adalah agent of change, mahasiswa sepatutnya dapat membaca perubahan zaman yang semakin cepat seperti hari ini, berkutat dengan kompetisi dan prestasi itu sangat diperlukan, namun lebih diperlukan lagi adanya pondasi berpikir untuk menyelesaikan persoalan-persoalan di negeri ini. Mempersiapkan gerakan dengan matang itu perlu, namun apalah arti persiapan tanpa adanya aksi, bukannya kita pernah mengenal jargon bahwa ide yang tidak direalisasikan hanya akan menjadi sampah dalam tengkorak. Salam Mahasiswa

Jakarta, 31 April 2018

Komentar

Postingan Populer