Kota Kasablanka (KOKAS)
“Tulisan ini tidak
bertujuan untuk menghakimi apalagi menghukumi, tulisan ini adalah beberapa
rekaman yang kusimpan, dan akan kuhapuskan, semoga saja tulisan ini ditafsirkan
sebagai fiksi yang dipenuhi oleh kalimat-kalimat hiperbola yang tak memiliki
makna sedikit pun”
Apa yang terbayang dibenakmu saat ku
menyebut Kota Kasablanka?. Cerita-cerita mistisnya tentang penghuni terowongan
kasablanka yang telah diangkat dalam beberapa film horor Indonesia? Atau tentang
kemacetan di depan Mall Kota Kasablanka yang membuat kita mumet untuk menghadapinya? Atau cerita-cerita lain yang belum
kupahami?
Jakarta, Maret 2017 aku kembali
menginjakkan kaki di kota ini. Yah sebuah kota yang direpresentasikan sebagai
sebuah mimpi, semua orang di kampung memimpikan kota ini, salah satu teman di
kampung mengatakan bahwa “Jakarta adalah cerminan Indonesia”. Begitu naifnya
temanku yang satu itu, dia melihat Jakarta dalam kota televisinya, tak melihat
Jakarta di kampung-kampung nelayan, ataukah di kontrakan petak yang
berdampingan dengan perumahan elit di bilangan Pertama Hijau, Jakarta Selatan.
Siapa yang bilang kalau mau ke Jakarta
hanya bermodalkan nekat? Sesuai dengan kalkulasi yang kulakukan, tiket pesawat
saja sudah habis satu juta lebih, diluar pengeluaran-pengeluaran lainnya saat
di Bandara Soekarno-Hatta sampai ke pool bus damri Gambir-Jakarta Pusat. Lalu titik
kenekatan itu ada dimana? Tentang tak adanya kepastian ketika kita ke Jakarta? Kurasa
keliru, mereka-mereka yang ke Jakarta dan bahkan menetap di Jakarta dipenuhi
oleh bayang-bayang ke tak pastian. Lalu dimana titik kenekatan itu di
defenisikan?
Tempat pertama yang kuketahui di
Jakarta adalah Stasiun Gambir yang terletak di Jakarta Pusat, tepatnya dekat
Monumen Nasional dan Tugu Tani. Disitulah pemberhentian terakhir Bus Damri yang
kunaiki, kata teman yang akan menjemputku, naik Bus Damri adalah salah satu
alternatif kendaraan murah meriah yang akan mengantarkan kita dari Bandara
Soekarno-Hatta menuju tujuan kita, intinya hanya mengantarkan tidak menemani
kita sampai ke tujuan.
Pertengahan Maret 2017, aku berada di
Jakarta. Waktu itu cuaca Jakarta tidak sedang baik-baiknya, menurutku sampai
hari ini cuacanya tidak bisa tertebak, sebagaimana manusia-manusianya. Aku menunggu
temanku di Stasiun Gambir dengan perasaan was-was, dan beberapa pertanyaan yang
telah kupersiapkan jauh hari sebelumnya, satu persatu aku akan sampaikan sampai
semua pertanyaan itu satu-satu terjawabkan. Sembari mengulang-ngulang mantra
dalam hati, bahwa aku ke Jakarta untuk memenuhi cita-citaku, menerapkan ilmuku,
mencari jalanku, dan tidak mengecewakan mereka-mereka yang membantuku sampai
aku menginjakkan kaki di kota ini.
Aku tiba di Stasiun Gambir kurang
lebih Pkl 15.00 WIB, sambil menunggu aku mencari makan untuk mengisi perutku
yang sedang keroncongan, dan nyaliku yang sedang naik turunnya. Untuk apa aku
di Jakarta, sedang pekerjaanku di Kampung sudah cukup. Aku manusia, aku butuh
lebih dan lebih. Setelah beberapa jam temanku akhirnya datang, membawa beberapa
pesan dan sedikit wejangan. Tapi tekadku sudah bulat, aku akan di Jakarta. Sembari
mengemasi barang-barangku, menunggu Taxi
Online, aku sedikit menanyakan sebuah kabar. Walaupun tak terjawab,
setidaknya satu pertanyaan sudah keluar dari beberapa list pertanyaan-pertanyaanku. Di dalam mobil, aku memandang keluar
jendela mobil, selayaknya seorang kampung yang baru melihat gedung-gedung
tinggi, dan mencoba menerka-nerka nama daerah, gedung dan bangunan sebagaimana
informasi bawaanku dari media-media mainstream.
Sebagaimana kewajiban-kewajibanku
sebelumnya, aku telah mengabarkan keadaanku baik pada keluarga di kampung,
maupun teman-teman yang lainya. Bahwa aku telah di Jakarta. Aku ingat malam
sebelum berangkat, teman-teman sesama aktivis di kampung mengadakan acara
perpisahan kecil-kecilan di sebuah warung kopi tempat kami biasa kongkow atau berdiskusi banyak hal,
terlalu dramatis menurutku namun begitulah mereka yang kuanggap sebagai
saudara-saudaraku sendiri selama hidup di “jalanan”. Aku mengabarkan kepada
mereka satu per satu bahwa aku telah di Jakarta, dan sejak detik itu aku
menanggalkan idealismeku. Semoga tetap dianggap sebagai candaan.
Beberapa hari di Jakarta, list pertanyaanku tak kunjung habis. Aku
ingin sekali menyampaikannya, walaupun tak terjawab satupun pertanyaan itu,
sebagaimana tentang kabar, atau yang lainnya. Hingga tiba satu waktu, akhirnya
sebuah pertemuan direncanakan, walaupun dengan sedikit paksaan, di Mall Kota
Kasablanka, Jakarta Selatan, Pukul 18.30 WIB, bertemu di pintu masuk dekat KFC.
Sesampainya di Mall Kota Kasablanka, aku mencari-cari tempat yang telah
ditentukan, waktu itu aku sedikit kebingungan, baru kali pertama aku
menginjakkan kaki di pusat perbelanjaan yang sangat besar menurutku, orang lalu
lalang tanpa peduli dengan sekitarnya, tak ada keakraban, tak ada kemanusiaan.
Akhirnya aku sampai di tempat yang
ditentukan, setelah menanyakan kepada orang-orang yang lewat, ada yang ramah
ada yang judes, yah begitulah. Tak lama setelah itu, dari kejauhan kulihat
sosok yang sangat kukenali. Baru sebentar aku ingin menyapanya, keluarlah
sebuah pertanyaan, sudah makan, ayo makan dulu. Dalam sisi psikologi, aku
dikuasai, ini bukan medanku, aku tak mengerti. Lalu aku mengikutinya dari
belakang sebagaimana keinginannya selama ini. Dalam suasana yang canggung, aku
memulai sebuah pertanyaan singkat tentang kabar yang tak kunjung disambut
sebelum-sebelumnya, walaupun pada posisi itu pikirannya entah berada dimana,
setidaknya aku berhadapan dengan raganya sebagaimana prinsip komunikasi pada
umumnya.
Sebelum di jawab, dia menanyakan
maksud dan tujuanku ke Jakarta. Aku hanya menjawab, coba ingat beberapa tahun
yang lalu, visiku sendiri bagaimana dan telah disepakati bersama bahwa aku akan
merantau ke Jakarta, untuk mengejar cita-citaku. Entah waktunya kurang tepat
atau hitungannya terlambat, setidaknya aku telah ada di Jakarta. Sia-sia kamu
ke Jakarta, jawabnya. Aku hanya diam, sembari memilah-milah pertanyaan yang ada
di benakku. Suasana waktu itu sangat dingin, bukan karena suhu AC di mall,
namun karena kondisi psikisku yang kalah telak. Memang benar, bahwa perang yang
paling berbahaya adalah perang melawan pikiran, waktu itu pikiranku dikuasai
oleh berbagai pertanyaan dan berusaha ku keluarkan satu per satu, dengan
hati-hati.
Selain dikuasai oleh berbagai
pertanyaan, hari itu aku merasa bukan pada ruang itu, aku merasa terlempar
keruang lampau, dimana pengalaman-pengalaman menampakkan dirinya satu persatu,
percakapan-percakapan yang telah disepakati tiap tahunnya,
peringatan-peringatan yang akan menimbulkan sanksi bagi satu sama lain, dan
bayangan-bayangan yang sudah terlampau jauh kedepan. Tibalah aku pada satu
pertanyaan yang kusimpulkan dari berbagai pertanyaan, untuk menyudahi perasaan
dingin saat itu. Segala yang telah rapuh di jelaskan, apakah kondisi itu akan
tetap di pertahankan? Ataukah kita menerima konsekuensi logis yang telah
disepakati sejak awal.
Beberapa argumentasi pendukung telah
ia keluarkan, di bumbui dengan fakta-fakta yang menurutku lumayan rasional,
sedikit rasanya. Bahwa aku masih memulai karir, tanpa harta dan sedikit harga
diri. Aku hanya mengajarkan bahwa membeli baju sesuai dengan fungsinya bukan mereknya
adalah sesuatu hal yang tak mampu ia terima, aku mengurusi urusan orang lain
tanpa memikirkan diriku sendiri adalah sesuatu yang paling anti ia lakukan,
tentang visiku yang terlalu ideal yang menurutnya tidak rasional, tentang
segala hal yang baru kudengarkan saat itu yang sebelumnya menurutku baik-baik
saja.
Setelah beberapa argumentasi yang
kubiarkan begitu saja, ditutup dengan sebuah kesimpulan “aku tidak menjadi
diriku sendiri sejak bersamamu”. Detik itu, akal sehatku terasa di injak, bagaimana
mungkin kata-kata yang selalu diucapkan bertahun-tahun tedefenisikan dengan
kalimat seperti itu?, ini salah satu pertanyaan yang tak bisa kutemukan
jawabnya, disamping pertanyaan-pertanyaan lainnya. Atau kalimat “laki-laki
tidak sepantasnya untuk patah”, saat itu aku berasa terasingkan. Aku tidak
mengenali orang yang sedang bicara ini, aku melirik kiri-kanan, untuk
memastikan bahwa aku tidak salah dalam mengambil posisi duduk, atau tidak salah
dalam memilih lawan bicara. Setelah beberapa waktu, aku menyimpulkan, bahwa aku
tidak salah, dia memang orangnya, tapi bukan orang yang kupahami sebelumnya.
Lama aku termenung, dan akhirnya aku
mengucapkan saja kalimat itu, mengembalikan semuanya kepada suasana seperti
semula, bahwa aku tidak mengenalinya, begitupun sebaliknya. Ku ulangi
pernyataan itu berulang-ulang sembari memastikan kesepakatan bertahun-tahun
sebelumnya, bahwa apa yang telah patah, tak bisa dipulihkan kembali, meskipun dipaksa,
dia akan tetap sama, ada ruang disitu, sebagaimana sebuah benda yang dipatahkan
lalu disambung kembali, tetap berbekas sambungan itu. Sembari memainkan handphone miliknya sejak aku berbicara, aku
menyudahi pembicaraan malam itu, walaupun masih banyak yang ingin kutanyakan,
toh sudah tidak relevan dengan kondisi sejak awal.
Dalam perjalanan pulang, yah aku tetap
berusaha untuk mengatarnya pulang. Aku tetap termenung, apakah aku sedang
bermimpi, rasanya aku tidak berada dalam realitas. Suara-suara itu cukup
menggangguku, namun aku harus tetap memantaskan diri, bahwa laki-laki
sepantasnya tidak patah. Dalam jam-jam itu melewati sebuah kemacetan yang
membuatku muak, akal sehatku juga ikut macet mengikuti arus laluintas Jakarta
malam itu. Realistis, kata itu terus kuulangi, bahkan kurekam melalui handphone ku, lalu ku ulang-ulangi
sebelum kantuk menghantarku.
Mall Kota Kasablanka, tahun 2017,
menempatkanku pada “perang psikis”. Dan aku kalah pada perang itu. Namun, yang
aku ketahui bahwa “perang” tidak berhenti di situ saja, sebagaimana hidup itu
sendiri. Yang kupahami adalah “Tidak ada
didalam hati dua cinta, sebagaimana tidak ada dalam wujud ini dua Tuhan”,
bahwa aku bukan dua bahkan tiga seperti argumentasimu, aku adalah satu dan
kuterima konsekuensi itu.
Di Jakarta, semua orang bisa jadi apa saja, selayaknya pembangunan LRT, MRT atau Underpass, segalanya berubah bagitu cepat, tak peduli tentang moment-moment yang telah terlalui, perubahan itu niscaya dan kita harus menerima segalanya dengan buta.
Komentar
Posting Komentar