Jerat Kasus PS dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (“UU Kepabeanan”)
Beberapa hari lalu, santer terdengar kabar penangkapan
seorang dengan inisial PS terkait dengan importasi barang illegal (handphone)
ke Indonesia, hal ini jadi pembicaraan hangat dikarenakan handphone jualan PS
selama ini digandrungi oleh masyarakat, selain dari harga yang murah (jauh di
bawah harga pasaran), strategi branding
PS pun dapat dipercaya karena banyak menggandeng selebriti untuk endorse. Diluar dari itu semua,
kira-kira pasal yang disangkakan terhadap PS tentang apa sih?
Berdasarkan laman media daring, PS disangkakan Pasal
103 huruf d UU Kepabeanan yang berbunyi sebagai berikut:
“Setiap orang yang menimbun, menyimpan,
memiliki, membeli, menjual, menukar, memperoleh atau memberikan barang impor
yang diketahui atau patut diduga berasal dari tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 102 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua)
tahun dan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau pidana denda
paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta Rupiah) dan paling banyak Rp.
5.000.000.000,00 (lima miliar Rupiah)”
Penjelasan dari ketentuan Pasal 13 huruf d UU
Kepabeanan adalah sebagai berikut:
“Ketentuan
pidana ini berhubungan dengan keadaan tempat ditemukannya orang menimbun,
memiliki, menyimpan, membeli, menjual, menukar, memperoleh, atau memberikan
barang impor yang berasal dari tindak pidana penyelundupan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 102.
Orang yang
ditemukan menimbun, memiliki, menyimpan, membeli, menjual, menukar, memperoleh,
atau memberikan barang tanpa diketahui siapa pelaku kejahatan dapat dikenai
pidana sesuai dengan pasal ini. akan tetapi, jika yang bersangkutan memperoleh
barang tersebut dengan itikad baik, yang bersangkutan tidak dituntut.
kemungkinan bisa terjadi, pelaku kejahatan dapat diketahui, sehingga
kedua-duanya dapat dituntu.”
Sedangkan ketentuan Pasal 102 UU Kepabeanan berbunyi
sebagai berikut:
“Setiap orang
yang:
a. mengangkut barang
impor yang tidak tercantum dalam manifes sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A
ayat (2);
b.
membongkar
barang impor di luar kawasan pabean atau tempat lain tanpa izin kepala kantor
pabean;
c. membongkar
barang impor yang tidak tercantum dalam pemberitahuan pabean sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7A ayat (3);
d. membongkar
atau menimbun barang impor yang masih dalam pengawasan pabean ditempat selain
tempat tujuan yang ditentukan dan/atau diizinkan;
e.
menyembunyikan
barang impor secara melawan hukum;
f. mengeluarkan
barang impor yang belum diselesaikan kewajiban pabeannya dari kawasan pabean
atau dari tempat penimbunan berikat atau dari tempat lain di bawah pengawasan
pabean tanpa persetujuan pejabat bea dan cukai yang mengakibatkan tidak
terpenuhinya pungutan negara berdasarkan undang-undang ini;
g.
mengangkut
barang impor dari tempat penimbunan sementara atau tempat penimbunan berikat
yang tidak sampai ke kantor pabean tujuan dan tidak dapat membuktikan bahwa hal
tersebut di luar kemampuannya; atau
h. dengan sengaja
memberitahukan jenis dan/atau jumlah barang impor dalam pemberitahuan pabean
secara salah.
dipidana
karena melakukan penyelundupan di bidang impor dengan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta Rupiah) dan
paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar Rupiah).”
Berdasarkan
ketentuan tersebut di atas, ketentuan Pasal 102 UU Kepabeanan harus dibuktikan
terlebih dahulu terhadap diri PS, baru dapat dikenakan ketentuan Pasal 103 UU
Kepabeanan.
Perlu
dipahami juga, bahwa dalam UU Kepabeanan selain terdapat sanksi pidana,
terdapat pula sanksi adminsitrasi yang diatur dalam ketentuan Pasal 82 ayat (5)
dan ayat (6) UU Kepabeanan yang berbunyi sebagai berikut:
“(5) Setiap orang yang salah memberitahukan jenis dan/atau jumlah
barang dalam pemberitahuan pabean atas impor yang mengakibatkan kekurangan
pembayaran bea masuk dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit
100% (seratus persen) dari bea masuk yang kurang dibayar dan paling banyak
1.000% (seribu persen) dari bea masuk yang kurang dibayar.
(6) Setiap orang yang salah memberitahukan
jenis dan/atau jumlah barang dalam pemberitahuan pabean atas ekspor yang
mengakibatkan tidak terpenuhinya pungutan negara di bidang ekspor dikenai
sanksi administrasi berupa denda paling sedikir 100% (seratus persen) dari bea
masuk yang kurang dibayar dan paling banyak 1.000% (seribu persen) dari bea
masuk yang kurang dibayar.”
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana tindakan dari
PS sehingga disangkakan Pasal 103 huruf d UU Kepabeanan? apakah tindakan-tindakan
dari PS telah memenuhi unsur dari ketentuan Pasal 102 UU Kepabeanan? ataukah
tepatnya PS disangkakan ketentuan Pasal 82 ayat (5) dan ayat (6) UU Kepabeanan
saja yang bersifat administratif.
Ini semua kembali kepada penegak hukum dalam hal ini Penyidik Pegawai Negeri Sipil Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Republik Indonesia, tujuannya apakah ingin memberikan efek jera? atau
ingin mengembalikan kesehatan keuangan negara dalam proses importasi barang?
yang terpenting adalah, sebelum menentukan apakah peristiwa hukum itu merupakan
tindak pidana adalah terpenuhinya mens
rea dan actus reus dalam diri
tersangka, selain dari itu, perlu dipahami bahwa pemidanaan adalah tindakan
paling terakhir yang seharusnya dilaksanakan oleh negara (ultimum remidium).
Komentar
Posting Komentar