DIA YANG PERNAH PATAH DAN PATAH KEMBALI
Kata orang bijak, hanya orang bodoh yang jatuh cinta, sebagaimana penggalan lirik lagu Can’t Help Falling Love With You yang dipopulerkan oleh Elvis Presly. Begitulah mungkin definisi cinta yang sesungguhnya, sejak dahulu manusia berusaha mendefinisikan cinta, sejak zaman para filsuf sampai turunnya agama-agama samawi, cinta menurutku masih sesuatu yang abstrak dan sulit untuk terdefinisikan. Atau mungkin aku hanya menerima definisi cinta yang ingin aku terima.
Perasaan jatuh cinta
sebenarnya dapat dijelaskan baik itu secara logika maupun secara ilmiah, sudah
banyak referensi yang bisa kita peroleh tentang perasaan cinta itu sendiri,
bagaimana mekanisme kimia yang sebenarnya berada pada tubuh kita berinteraksi
sedemikian rupa sehingga menghasilkan perasaan yang disebut cinta. Tapi bagaimana
sebenarnya cinta itu sendiri?
Beberapa orang pernah
mengajarkanku tentang definisi cinta, baik itu teori maupun sampai pada
praktiknya, tapi pada akhirnya aku juga belum mengetahui definisi cinta itu
sendiri. Sebagaimana definisi dari definisi, seharusnya ada batasan mengenai definisi
cinta, toh pada akhirnya setiap definisi saling bertentangan dengan realitasnya
masing-masing. Lalu, apakah memang benar cinta dapat terdefinisikan? atau cinta
adalah gerak yang berubah?
Awalnya definisiku akan cinta
adalah, “aku mencintaimu dan cukup sampai kau mengetahui itu”. Namun,
belakangan cinta itu memaksakan dirinya sebagai kepemilikan, ingin menunjukkan
eksistensinya pada realitas, sehingga dia tidak cukup sampai dengan pengetahuan
akan perasaan itu, tapi harus dikewejantahkan menjadi sebuah hubungan, sesuatu
kepastian, suatu hal yang mengikat. Bukankah, “aku mencintaimu” adalah suatu
kepastian? Ataukah definisi cinta telah berubah menjadi “aku mencintaimu dan dia
harus berubah menjadi realitas”.
Jika definisi cinta memang
seharusnya seperti itu, maka menjelmalah dia menjadi realitas. Setelah menjelma
menjadi realitas, tidak butuh waktu yang lama untuk mendefinisikan cinta
kembali, bahwa cinta membutuhkan pembuktian, sehingga definisi cinta menjadi “aku
mencintaimu dan aku buktikan bahwa aku mencintaimu”, sampai disini aku sedikit
sadar bahwa cinta adalah sebuah gerak yang berubah, dia akan menuntut lebih dan
lebih sehingga sang pecinta pastinya akan memberi lebih dan lebih.
Dari konsep menuntut dan
memberi tersebut, lahirlah definisi cinta yang baru, bahwa “aku mencintaimu dan
kau harus mencintaiku”, sangat jauh berbeda dari definisi awal yang ku pahami,
tetapi kembali kepada konsep bahwa cinta adalah gerak, sehingga aku menganggap bahwa
hal yang wajar mencintai menuntut konsekuensi logis yaitu dicintai.
Bukankah cinta juga dapat
didefinisikan melalui cinta Tuhan ke hamba-Nya?, sebagaimana firman-Nya “tidak
ada di dalam hati dua cinta, sebagaimana tidak ada dalam wujud ini dua Tuhan”,
sehingga jelas, bahwa cinta menuntut adanya ketunggalan. Lalu, apakah selama
ini yang aku rasa bukan cinta?
Setelah bergerak dan mendapatkan
definisi cinta, bahwa “aku mencintaimu dan kau harus mencintaiku”, diperjalanan
aku mendapatkan definisi baru tentang cinta, bahwa “aku mencintaimu dan kau
mencintaiku, cukup sampai disitu”, dari definisi itu, tidak ada lagi gerak,
tidak ada lagi konsep menerima dan diterima, konsep yang baru ini adalah cinta
terdefinisikan menjadi diam, tanpa adanya gerak sama sekali. Bukankah definisi
cintaku yang pertama seperti itu? Ataukah berbeda konteks?
Aku membutuhkan waktu yang
cukup lama untuk merenungkan definisi baru ini, bagaimana mungkin aku merasionalisasikan
definisi cukup sampai disitu, sedangkan aku telah melalui proses pendefinisian
cinta sampai kepada cinta menuntut ketunggalan? Siapa yang bisa menjamin bahwa “cukup
sampai disitu” bermakna ketunggalan?, bagaimana mungkin cinta yang harusnya
bergerak menjadi berhenti dan diam?
Sampai akhirnya aku diperkenalkan
dengan konsep Ego, sesuatu yang melekat pada diri manusia, yang membuatnya
sering bertentangan dengan manusia lainnya. Bukankah salah satu gerak dalam
cinta adalah peleburan ego? Menghilangkan diriku dan dirinya sehingga menjadi
kita, menjadi entitas baru sebagaimana reaksi peleburan benda-benda.
Jika definisi cinta memang adalah diam cukup dengan “aku mencintaimu dan cukup sampai kau mengetahui itu”, telah menjelaskan semua sejak di awal, lalu kenapa dia harus terdefinisikan sampai pada akhirnya “Aku mencintaimu, kau mencintaiku, dan cukup sampai disitu”, apakah dalam proses geraknya definisi cinta di rasuki oleh ego, sehingga cintaku adalah cintaku dan cintamu adalah cintamu, tidak ada peleburan ego di dalamnya.
Saat ini “aku mencintaimu, kau mencintaiku, melebur kita bersama, menjadi sesuatu yang baru”
Komentar
Posting Komentar