NEGERI PELATAH
Disuatu negeri
yang ada di salah satu gugusan pulau-pulau yang ada didunia ini. Dimana negeri
itu memiliki beragam-ragam gumapalan daging yang berisikan nyawa dan dapat
bergerak, bermasyarakat yang sangatlah beragam suku dan budaya yang terdoktrin
sebelum mereka lahir.
Negeri yang
mungkin tetesan surga, dimana negeri itu memiliki keaneka ragaman flora dan
fauna dan di amanahkan kepadanya keindahan lukisan oleh sang pencipta. Negeri
yang dulunya memiliki perjuangan yang sangat panjang sehingga dapat melepaskan
dirinya dari iming-iming belenggu ke-eropa-an yang sangatlah modern.
Negeri yang
mayoritas orangnya merupakan masyarakat adat yang mungkin masih mengingat
filosofi hidup yang mereka terima dari ajaran-ajaran adat mereka masing-masing.
Mungkin terlalu banyak yang tak dapat dituliskan oleh penulis untuk
menggambarkan betapa hebatnya negeri itu, ”karena sebuah keindahan tak dapat
tertuliskan dengan bahasa apapun yang dapat dipahami oleh manusia”.
Yah, itulah
Indonesia. Memang kata indonesia itu sendiri pun sebenarnya pemberian dari
bangsa asing yang diberikan kepada kumpulan gugusan pulau-pulau yang bersusun
secara sistematis sehingga mengatasnamakan dirinya sebagai negara kesatuan
republik indonesia.
Namun, dengan
semua kelebihan yang dimilikinya semua yang tidak dapat ditemukan dinegeri lain
selain dinegeri ini hanyalah sebatas materiil saja. Perubahan tak bisa
dihentikan, karena perubahan merupakan hukum alam yang sudah pasti terjalankan,
bak akar yang menopang sebuah pohon, seperti itulah perubahan yang berjalan
beriringan dengan kehidupan.
Banyak faktor
yang mempengaruhi sebuah perubahan, banyak faktor yang datang sehingga
perubahan itu menampakkan dirinya dalam bentuk yang sangat nyata, sedang kita
hanya bisa berada dalam perubahan itu secara sadar maupun tak sadar.
Dalam diskusi
kosong malam itu, keluarlah sebuah bahasa “kita orang indonesia, adalah orang
yang latah melihat sebuah perubahan”. Latah, yah tak bisa dipungkiri kita
latah, kita latah dalam urusan budaya, kita latah dalam urusan globalisasi,
bahkan kita latah dalam urusan adat istiadat.
Tidak kah kita
berfikir, apa yang para pendahulu kita rasakan ketika kita beranggapan saat
melihat dunia “malu jadi orang Indonesia”. Entahlah, apakah kelataan kita ini
sudah berakar sedari dulu, ataukah karena kita memang betul malu untuk
dikatakan sebagai seorang indonesia dari bangsa-bangsa asing, yang kita tidak
tahu mereka itu siapa, kerangka berfikir mereka seperti apa, bahkan nama pun
kita tidak tahu. Masihkah kita mau mendengarkan mereka?
Teknologi
semakin maju, kebudayaan dunia semakin maju, namun moralitas kita sebagai
masyarakat adat kemana? Kita bisa katakan kita maju dalam perkembangan
globalisasi mengikut kepada perubahan dunia, namun bagaimana dengan paham-paham
kita untuk hidup sebagai manusia? Semakin miris, membuat bulu kuduk merinding,
dimana perubahan merubah kita bukan lagi menjadi manusia yang membutuhkan satu
sama lain, entah sebuatan apa yang akan di lontarkan kepada kita saat kita
lebih membutuhkan teknologi dibandingkan sesama kita?
Manusia baru
bisa dikatakan manusia ketika segumpal daging ini hidup dalam lingkup
bermasyarakat, bukannya melepaskan diri dengan iming-iming menuju masa depan.
Teringat kembali pepatah-pepatah tua yang terlontarkan sedari dulu, “yang lalu telah berlalu, kini menjadi kini,
esok belum tercipta”.
Kita memang
bangsa yang latah, seakan tidak peduli lagi dengan wejangan-wejangan orang tua
yang memiliki makna kehidupan, mereka bukanlah seorang filuf-filsuf yang
terkenal, namun sebuah kata yang terucap akan menjadi senjata kelak.
Akankah kita
akan tetap latah dengan semua yang kita miliki sekarang dengan semua perubahan
yang terjadi, ataukah kita mengambil segelah ideologi masa lalu untuk
menghilangkan kelataan kita kini. Kaum muda yang merasa bangga ketika dikatakan
masyarakat modern, namun miskin akan budaya. Kaum muda yang merasa bangga
ketika dapat melihat keluar jendela, namun mereka tak bisa melihat apa yang
berada di belakang jendela itu.
Kaum muda yang
seharusnya menjadi penerus cita-cita kaum tua yang sudah tiada, namun lebih
memilih untuk menjiplak negara-negara yang dikatakan di media sebagai negara
yang maju. Akankah kita adalah mereka? Atau kita hampir sama seperti mereka?
Semoga kita bukan mereka.
“rumput tetangga memang selalu
nampak indah, itulah sebabnya mengapa kita harus merawat rumput halaman kita
sendiri”
Komentar
Posting Komentar