Demokrasi, Kritik dan Penyambung Lidah Rakyat

Sejarah adalah proses dialektika, siapa yang berkuasa dia yang berhak menulis sejarah. Lebih spesifik lagi, sejarah adalah milik para pemenang.
Ketika kita merujuk kepada sejarah bangsa Indonesia, tidak terlepas dari hal-hal yang absurd (tidak jelas). Mungkin saya beranggapan demikian, karena beberapa pelajaran sejarah yang saya dapatkan dibangku sekolah terbantahkan satu persatu dengan teori-teori yang saya dapatkan dibangku perkuliahan. Contoh saja, peristiwa proklamasi, pancasila, lengsernya Soekarno, Peristiwa G30SPKI, peristiwa lubang buaya, peristiwa KUDATULI, peristiwa 98, dan masih banyak peristiwa lainnya.
Saya dapat menyimpulkan bahwa semua ini akibat dari benang kusut Orde Baru, yang sampai hari ini masih berusaha untuk dirajut kembali benang yang telah kusut itu. Reformasi merupakan bab baru membuka lembaran demi lembaran yang sengaja di “bakar” atau istilah pada waktu itu dihilangkan. Dengan semangat reformasi, dan demokrasi pecahlah peristiwa 98 yang digaungkan oleh para penggiat demokrasi waktu itu. Berdasarkan prinsip kausalitas, peristiwa 98 merupakan akibat dari sebab-sebab yang telah berlarut sejak 66, yang paling utama adalah bergesernya prinsip pancasila menjadi konsep militeristik yang digaungkan Orde Baru.
Generasi Milenial
Saya tergelitik dengan perdebatan salah satu penyambung lidah rakyat dengan rakyat dalam stasiun televise swasta. Salah satu pimpinan DPR diajak untuk berdebat dengan salah satu ketua DPP partai yang masih dikatakan baru itu dan yang paling seru adalah salah satu ketua itu masih berstatus sebagai mahasiswa disalah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta. Salah satu argument yang membuat saya risih yang dilontarkan oleh salah satu pimpinan DPR adalah, anda ini adalah generasi yang lahir setelah masa reformasi, anda tidak mengetahui bagaimana rasanya dipimpin rezim totalitarian dan militeristik, bagaimana diskusi itu dibungkam. Definisi itu Cuma satu, dan lain hal sebagainya. Hal ini yang menurut saya tidak rasional, karena sampai hari ini menurut saya sebagai generasi milenial yang harus dibenci pada rezim Orba itu adalah sistemnya, bukan orangnya. Dengan kata lain, orangnya bisa saja mati tapi system yang diterapkan harus pula mati. Bukan malah, orangnya yang mati, system yang digunakan tetap sama.
Jika generasi tua sudah tidak mampu diajak untuk duduk bersama menemukan solusi kebangsaan, sudah sepatunya generasi tersebut di bumi hanguskan. Jika generasi tua menganggap kebenaran bukan didapatkan melalui proses dialektika dalam diskusi dan perdebatan melainkan hitungan umur, sudah sepatutnya kita lebih mendengarkan orang-orang yang memiliki umur lebih dari seabad.
Generasi milenial yang disematkan oleh pimpinan dewan yang terhormat kepada orang-orang yang tidak terlibat dalam gerakan reformasi mungkin dapat dikatakan benar. Namun, generasi milenial yang sempit seperti itu hanya membuat garis pemisah yang keras kembali antara golongan muda dan golongan tua. Generasi milenial hanya berkaitan dengan waktu kelahiran, bukan terhadap pola piker. Bagi mereka yang memiliki pola piker reformis, tetap merupakan orang-orang yang terlibat dalam gerakan reformasi. Bukannya gerakan adalah proses perpindahan antara materi satu dengan materi yang lainnya? Bukan soal apakah formulasi gerakan reformasi sudah selesai sejak tumbangnya rezim otoritarian, melainkan gerakan menuju ke cita-cita reformasi itu sendiri.
Kritik
Salah satu hal yang membuat seseorang menjadi banyak tahu adalah banyak bertanya dan berdialek. Jika ada orang yang telah berhenti berdialek maka sudah dipastikan orang itu tidak mengetahui apa-apa. Kritik merupakan budaya yang harus dibangun untuk mencapai kebenaran yang obyektif. Budaya kritik tidak dapat ditafsirkan sebagai budaya penghancuran seperti kacamata politik. Tapi lebih kepada budaya untuk memperbaiki suatu hal sehingga kita menyadari bahwa manusia adalah makhluk yang tidak sempurna.
Hal yang lucu adalah, ketika periode anti kritik telah terlampau jauh dan semangat untuk mengutarakan pendapat menggebu-gebu tidak dibarengi mental kritik yang memadai. Apakah hegemoni yang dilakukan oleh rezim otoriter sewaktu itu membangun mental anti kritik sehingga para manusia-manusia yang mengakui dirinya sebagai reformis sewaktu itu pun menjadi orang-orang yang anti kritik. Memang benar anggapan bahwa lingkungan mempengaruhi tingkah laku seseorang. Lingkungan anti kritik membuat seseorang dalam lingkungan tersebut terpengaruh menjadi anti kritik. Lingkungan yang pragmatis mempengaruhi orang tersebut menjadi pragmatis.
Dewasa ini, kritik seakan-akan kembali dibungkam dengan menggunakan hokum sebagai alat kekuasaan. Aturan-aturan diatas kertas didesain sedemikian rupa untuk membungkam mulut dan suara-suara yang lantang. Ataukah bagi mereka-mereka yang tidak memiliki dua telinga. Kritik lahir seyogyanya untuk membangun dunia dan peradaban lebih baik. Namun, lingkungan anti kritik mendesain bahwa orang-orang yang mengkritik adalah orang-orang yang harus dibumi hanguskan. Beruntunglah mereka-mereka yang mengkritik hari ini masih bisa hidup lewat jeruji-jeruji besi. Berbeda dengan pengkritik lalu yang harus hidup dengan kekhawatiran hari esok. Apa bedanya kalau begitu? Apa yang diperjuangankan semasa reformasi sewaktu itu? Apakah kita hanya membenci sosoknya? Ataukah nilai yang ada pada sosok itu?
Penyambung Lidah Rakyat
Soekarno dengan gelar penyambung lidah rakyat rasanya tidak terlalu berlebihan. Beliau adalah founding father-nya Negara ini. Walaupun tidak diperlakukan seperti demikian sampai akhir hayatnya. Penyambung lidah-lidah orang yang tertindas akibat kebodohan dan keserakahan. Yang nyata, gelar itu diberikan bukan akibat dari pencitraan atau dari “para pembisik”, melainkan dari kinerja nyata yang dilakukan oleh beliau.
Hari ini penyambung lidah rakyat itu sudah sulit ditemukan, bahkan dalam lorong-lorong kumuh sekalipun. Yang menyambungkan lidah-lidah mereka yang tertindas dan haus akan keadilan. Mereka yang mengaku penyambung lidah adalah mereka yang ingin mendapatkan keuntugan prakttis terhadap nama yang mereka wakilkan. Sebut saja salah satu aliansi yang terbentuk disalah satu kota yang menyematkan dirinya sebagai kota dunia. Disudut terminal terbesar seasia tenggara dia dengan lantang menyuarakan penyambung lidah rakyat yang berada dalam lingkungan terminal tersebut. Namun, ketika diberikan jabatan dan posisi yang strategis, akhirnya lidah itu bungkam. Rakyat mencari mulut-mulut baru atau diam dengan kekecewaan dan ketidak percayaan.
Ataukah mahasiswa yang dengan garangnya menyatakan sebagai wakil kaum yang tertindas. Bertemu dengan penguasa ditempat-tempat makan membicarakan cara mempertahankan kekuasaan, dan menjual gerakan dengan tarif yang lumayan menguras para penguasa. Entah kemana uang itu?, yang pasti uang itu tidak dinikmati oleh kaum pinggir kota.
Atau anggota dewan yang terhormat yang mengatas namakan rakyat pedalaman, padahal mereka bukan representasi dari pedalaman itu sendiri. Bertemu dengan pemilihnya pun tidak dapa dihitung karena tidak pernah sama sekali. Bagaimana mau bertemu, mereka sibuk membicarakan proyek, jalan-jalan keluar negeri, atau sekedar mempertahankan posisi dan citra didepan media.
Adalah sebuah hal yang wajar ketika kritik itu mulai muncul dari diskusi-diskusi ringan masyarakat. Pedaganga ikan dipasar, penjual asongann dijalanan, atau sekedar pengemmis dijalan. Mereka mengkritik karena mereka sudah tidak memiliki penyambung lidah laiknya soekarno sang penyambung lidah masyarakat.
Waspadalah kekuasaan, jika kritik dibungkam dan rakyat saling berbisik. Waspadalah kekuasaan jika rakyat tidak berteriak dijalan lagi. Waspadalah kekuasaan jika rakyat enggan untuk patuh. Waspadalah kekuasaan jika rakyat tahu bahwa kekuasaan ada ditangan mereka, tangan-tangan yang mengepal dengan nada kecaman.


Komentar

Postingan Populer