Keabadian Sang Anak Haram Kekuasaan


“Menulis adalah kerja keabadian”, mungkin seperti itulah yang saya pahami. Pertemuan dengan kawan saya semasa aktif dalam lembaga kemahasiswaan kembali mengingatkan saya kepada moment-moment yang saya lalui selama masih berstatus sebagai mahasiswa. Walaupun belum terlampau jauh masa itu, namun selalu ada keseruan dan rindu yang menggebu untuk dilampiaskan lewat diskusi sampai pagi.
Beberapa minggu lalu saya mendapat kabar bahagia, bahwa salah satu teman kami telah memiliki “momongan”. Momongan disini bukan anak biologis dalam artian awam, namun lebih kepada hasil karya pemikiran yang dibukukan. Saya masih ingat salah satu kekurangan seorang aktivis kampus adalah kurangnya perempuan-perempuan yang ingin mewakafkan dirinya menemani di jalan perjuangan. Maka tidak salah bila dikata jalan perjuangan adalah jalan yang sepi. Ataukah lebih kepada standar-standar yang ditetapkan oleh kawan-kawanku terhadap cinta yang dikenal lewat puisi-puisi khalil Gibran atau kajian filsafat cinta kaum sufi.
Entah sudah berapa kawan Lingkar 011 UH (sebuah komunitas yang terbentuk untuk menjalin silahturahmi antar “mantan” penggiat kelembagaan di universitas hasanuddin terkhusus angkatan 2011) yang telah memiliki momongan, baik itu lewat prestasi atau buah pemikiran yang dibukukan. Namun, satu yang membuat saya bangga terhadap mereka. Adalah sebuah konsistensi terhadap garis perjuangan, walaupun jalan yang telah dipilih mulai berbeda-beda.
Salah satu momongan yang telah dimiliki oleh satu dari sekian kawan, adalah sebuah buku berjudul “Jalan Pejuang” –kumpulan catatan- oleh Bagus Wawan Setiawan. Alumni fakultas teknik yang sampai hari ini saya masih mencoba mengingat kapan dan dimana saya awalnya bertemu dengan beliau, satu yang pasti pertemuan kami kemungkinan besar di jalan. konotasi negatif terkait hubungan antara mahasiswa teknik dan mahasiswa hokum yang telah mengakar sejak lama berusaha kami hilangkan dengan membangun hubungan kelembagaan berlanjut kepada hubungan pertemanan dan persahabatan. Tujuannya, untuk sekedar memutus konflik dan memberi contoh.
Beberapa hari yang lalu saya cenderung memaksa beliau untuk bertemu walaupun beliau sudah memiliki kesibukannya sendiri. Bertemu untuk meminta hak saya sebagai kawan, yakni sebuah buku Jalan Pejuang tulisan dari beliau. Bersama dengan kawan-kawan yang lain, keinginan saya pun tersampaikan di Kafe Dialektika, tempat dimana idealism bersemayam menunggu untuk tertransformasikan menjadii gerakan perubahan. Diskusi sembari melepas rindu dan menjalin silahturahmi, menanyakan kesibukan dan capaian kedepan. Tidak lupa membahas buku yang kami pegang dengan judul dan penulis yang sama.
Catatan Sang Demonstran – Soe Hok Gie, salah satu pelopor gerakan kemahasiswaan Indonesia merupakan buku wajib bagi para mahasiswa baru. Walaupun banyak senior-senior yang tidak pernah merekomendasikan ataupun tidak pernah membacanya. Saya ingat perkenalan saya dengan Gie melalui film yang berjudul sama yang diperankan oleh Nicolas Saputra, catatan sang demonstran lebih kepada kumpulan catatan-catatan harian Gie sejak dia kecil sampai terlibat dalam pelengseran Soekarno dengan basis mahasiswa. Adalah sebuah gambaran nyata bagaimana pergolakan social pada masa Gie masih hidup, ataukah pada masa mahasiswa masih ada. Gie mungkin sudah tidak ada, namun apa yang telah ia lakukan dapat menjadi contoh bagaimana cara merekam sebuah sejarah lewat tulisan, agar sejarah bukan milik penguasa kembali.
Jauh setelah pergolakan politik rezim Orde Lama, muncullah rezim yang menamakan dirinya sebagai Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto, 32 Tahun hegemoni yang dilakukan Negara kepada masyarakat. Namun tetap mendapat perlawanan bagi golongan-golongan anti penindasan, terutama mahasiswa. Jejak itu kembali terekam oleh salah satu aktivis mahasiswa Makassar, yaitu Amran yang telah menjadi guru besar saat ini, lewat bukunya “Demonstran Dari Lorong Kambing” yang menggambarkan pergolakan yang terjadi dimakassar terkait rasisme.
Jalan Pejuang karya Bagus Wawan Setiawan memang lahir jauh setelah masa reformasi, namun semangat untuk mendokumentasikan sejarah tetap berlanjut agar dalam melihat sejarah kita dapat berlaku obyektif. Bukannya seorang intelektual harus adil sejak dalam pikiran? Saya bangga sekaligus iri terhadap kemampuan kawan-kawan saya mendokumentasikan pikirannya melalui sebuah tulisan yang mampu diterima segala kalangan. Dari pada berkoar-koar menceritakan kejayaan masa lalu yang masih dipertanyakan subyektifitasnya, saya menilai menulis adalah hal yang tepat untuk melanggengkan proses dialektika.
Buku tersebut sekaligus menampar gerakan kemahasiswaan hari ini, khususnya Universitas Hasanuddin. Saya masih sering memperhatikan wacana yang berkembang, dan gerakan yang dilakukan adik-adik dikampus. Kebanyakan dari mereka diam dengan alas an tekanan yang membabi buta dari kekuasaan. Ingat dik, kekuasaan cenderung mengarah kepada absolutifitas, kekuasaan yang absolut mengaburkan kebenaran yang universal. Karena menurut kami, apa yang terjadi di kampus hari ini sama seperti apa yang kami rasakan semasa kuliah, dan itulah yang menyebabkan kami menjadi sosok yang berlawan dengan segala konsekuensi yang diterima. Jalan Pejuang sedikit menggambarkan perjuangan akan kebenaran dan perjuangan terhadap kesewenang-wenangan.
Semoga momongan baru akan cepat keluar baik itu dari Bung Bagus Wawan Setiawan walaupun dari kawan-kawan Lingkar 011 Universitas Hasanuddin.
Apa gunanya banyak baca buku, kalau mulut kau bungkam melulu”
Apa Guna – Wiji Thukul


Komentar

Postingan Populer