Indonesia Timur
Sebagaimana cita-cita dari pendiri bangsa ini, negara ini,
bumi yang kita pijaki sekarang, memerdekakan indonesia dari segala
penindasan-penindasan yang kejam dan segala praktik kolonialisme dan
penjajahan. Sebagaimana pula amanat yang terkandung dalam konstitusi negara
indonesia sebagai tolak ukur, sebagai landasan, sebagai fondasi sehingga
eksistensi negara ini dianggap ada bagi dunia yakni negara kesatuan republik
indonesia (NKRI).
Dikatakan sebagai negara kesatuan, karena indonesia sudah
ditakdirkan oleh yang Maha Pencipta sebagai negara yang terdiri dari
pulau-pulau, sehingga akan menjadi kesatuan ketika indonesia ini dijadikan
sebagai negara yang notabene merupakan kumpulan pulau-pulau yang dipersatukan
melalui garis pantai terluar.
Namun, cita-cita hanyalah sebuah cita-cita, mimpi hanya akan
menjadi mimpi ketika si-yang-bermimpi tidak terbangun dari tidurnya, atau hanya
akan menjadi cerita fiktif ketika si-yang-pemimpi hanya mampu mengolah hasil
mimpinya di dalam tengkorak tanpa ada realisasi dari mimpi itu. Itulah
Indonesia sekarang.
Permohonan maaf patutnya kita tuturkan kepada para pejuang,
para pendiri bangsa, yang telah berupaya dengan sekuat tenaga, mengorbankan
apapun untuk memperjuangkan yang menjadi hak bangsa indonesia ditangan-tangan
bangsa lain yang keji, yang menganggap indonesia hanyalah kebun dilengkapi
dengan petani kebun yang secara gratis dapat diperoleh, sehingga indonesia
menjadi merdeka seperti yang mereka inginkan.
Namun apakah pernah terbesit dipemikiran mereka, tentang
cemohan-cemohan dan ocehan-ocehan tentang indonesia, tentang penerus bangsa
yang mencemoh dan menghina bangsanya sendiri, seakan perjuangan para pejuang
hanyalah candaan belaka. Pernahkah mereka memikirkan akan ada penjajah-penjajah
baru yang berasal dari bangsa itu sendiri, bukan lagi bangsa yang lain.
Mereka berjuang mengorbankan nyawa mereka, tidak lain untuk
kita generasi pelanjut, generasi yang akan memegang “bambu-bambu” runcing
perjuangan, yang menurut teori seleksi alam bahwa hidup adalah perjuangan dan
manusia adalah pejuang, ketika hidup bukan lagi berorientasi kepada perjuangan,
ketika itu pula manusia punah.
Sudah merupakan hak setiap mannusia untuk menilai apa yang
menurut mereka salah, apa yang menurut pandangan subyektif mereka merupakan
sesuatu yang tidak tepat disandingkan. Namun, apalah arti sebuah penilaian
ketika tak pernah ada perubahan, apalah arti sebuah ucapan tanpa ada tindakan.
Mungkin sedikit materialis, namun kita tersadarkan kita tak hidup dalam dunia
rasio melainkan materi.
Kini mereka yang mengatakan dirinya sebagai pejuang-pejuang
baru, pejuang di zaman yang serba canggih melupakan tugas mereka sebagai
pejuang, melupakan hakikat mereka sebagai penerus, mereka hanya bias
berkomentar, komentar, komentar, dan komentar. Sedikit singgungan kepada para
pengamat negeri, terlalu banyak pengamat hanya akan membuat sesat, kita hanya
disodorkan kepada sesuatu-sesuatu yang nyatanya sangatlah tak bias terlupakan.
Kita disodorkan kata tanpa adanya tindakan, dengan alasan bukan urusan mereka
untuk mengubah, mereka hanyalah pengamat.
Ya, rumput dihalaman rumah pun jika hanya diamati akan
menjadi rumput belaka yang tak terurus, sampah di tong sampah pun jika hanya
diamati akan menjadi sampah sampai kiamat. Janganlah kita terlalu lama mengamati,
tanpa kita ingin melakukan tindakan yang nyata. Sebaik-baik sebuah teori adalah
ketika disertai dengan bukti, sebaik-baik kata ketika disertai dengan tindakan.
Saya rasa hal tersebut sangat disayangkan, namun kenyataan
berkata lain. Ketika kita ingin bangga terhadap Indonesia, sebagian orang
merusak kebanggaan kita hanya karena ego-ego mereka yang mereka pertahankan.
Komentar
Posting Komentar