Inilah Kami, Mengaku Menjadi Kami
Kami hanyalah orang-orang yang
dikorbankan terhadap sesuatu kepentingan, entah itu kepentingan pribadi,
kepentingan dua orang atau mungkin kepentingan banyak orang. Tak ada kesempatan
untuk menujukkan diri, menegaskan hakikat diri, melontarkan semua isi hati agar
semua orang tahu, dan mengakui keadaan dan eksistensi kami.
Kami hanyalah orang-orang yang
dipandang sebelah mata, padahal mereka diberikan dua mata oleh Tuhan, dimana
mata mereka yang satunya lagi. Mereka menggap kami hanyalah sampah-sampah yang
tidak jauh beda dengan sampah-sampah yang ada ditengah hutan-hutan beton yang
kami tinggali.
Pemikiran-pemikiran kritis kami
hanya dianngap sampah penyumbat saluran yang ada di drainase kandang yang
mereka sebut sebagai rumah, ucapan kami hanya sekilas polusi yang menyumbat
hidung-hidung mereka.
Mengatakan kebenaran sudah tidak
tren lagi di tengah pergolakan kemunafikan-kemunafikan dunia dan negara. Yang benar
mereka katakan sebuah kesalahan dari pemahaman, yang salah mereka buatkan
alasan pembenar.
Masih banyak dari kami yang
tertipu dari sistematika retorika yang berkobar-kobar menutup telinga dan hati
mereka yang sebenarnya masih bersih. Disuapi dengan kemudahan-kemudahanyang
diberikan agar kami menjadi manja, menjadi lemah hingga akhirnya perbudakan
kembali meraja lela.
Capek!! Bukan perkataan seorang
pejuang. Keseimbangan sudah tidak lagi berjalan semestinya dengan sistem
apatisme yang tertanam akibat kemudahan. Masih banyak dari kami yang menertawakan
seorang pejuang, seorang pendobrak, sampai akhirnya hukum rimba mulai berlaku,
yang kuat yang menang.
Terus dimana hakikat dari bhineka
tunggal ika yang kalian canangkan ketika hanya eko aku yang mereka bawa, tanpa
memikirkan ego kita. Apalah guna berjalan beriringan dengan sejarah, tanpa
menyadari akhirnya kita akan menjadi sejarah.
Tidakkah kalian sadar, kita
seakan seperti bayi yang menangis dan akan berhenti ketika telah menjilat. Kepentingan
yang membuat kalian menjilat, menjilat untuk tetap bertahan hidup, namun tak
berani mati untuk penindasan.
Jangan katakan bahwa aku adalah
manusia, ketika tak ingin memandang orang lain. Bukannya manusia mahluk sosial,
kemudian untuk apa kalian tergesa-gesa menyamankan diri sendiri, sedangkan
manusia yang lain sedang bersusah payah mencari makna dari manusia itu sendiri.
Dunia tidak bundar, dunia itu
berbatas, karena sebagian dari kami memabatasi dunia itu sendiri. Membatasi apa
yang mereka tafsirkan dengan alasan agar mudah dimengerti agar mudah masuk
kedalam dunia non-materi.
“apa yang kami banggakan,
terkadang menusuk dari belakang sedang apa yang kami kecewakan malah menjadi
masa depan”
Komentar
Posting Komentar